Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Cukupkan Simbolisme, Pancasila Butuh Keteladanan Bukan Twibbon

2 Juni 2025   07:53 Diperbarui: 2 Juni 2025   07:53 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peringatan Hari Lahir Pancasila -- Warga berfoto dengan latar belakang lambang Burung Garuda. (KOMPAS/Ferganata Indra Riatmoko)

Ketika integritas pemimpin diragukan dan Pancasila hanya jadi slogan, mungkinkah harapan masih menyala?

Ketika para pemimpin sibuk mematut kata Pancasila dalam pidato dan baliho. Ketimbang menjadikannya laku hidup sehari-hari. Kepercayaan publik perlahan tapi pasti surut. 

Saya kadang sampai geleng-geleng kepala sendiri. Kok bisa kita sampai di titik ini? 

Bukan karena rakyat tak cinta Pancasila Tapi terlalu sering rasanya rakyat biasa merasa dikhianati oleh mereka yang seharusnya jadi teladan. 

Generasi muda tumbuh di tengah ketidakpastian yang menyesakkan. Etika publik terasa makin terkikis. Janji-janji kebangsaan terdengar seperti gema kosong dari masa lalu yang indah namun jauh. 

Mungkinkah Pancasila benar-benar bisa bangkit kembali?

Krisis Kepercayaan di Tengah Krisis Moral yang Mengakar

Dari apa yang saya baca, rasanya memang tak bisa dimungkiri. Ada krisis moral dan politik yang sedang kita hadapi bersama (Kompas.id). 

Ini sebuah kenyataan pahit. Nilai-nilai luhur Pancasila sepertinya mulai ditinggalkan. Bahkan terlupakan. 

Ironisnya, pengabaian ini justru seringkali datang dari para elite. Para pemimpin kita. Apa mereka lupa ya, dulu sumpahnya bagaimana saat dilantik?

Saya melihatnya dari perspektif ini. Bukan cuma soal perilaku individu satu dua orang. Tapi sudah menjadi sesuatu yang lebih sistemik. Lebih mengakar. 

Korupsi yang katanya mau diberantas habis-habisan. Malah seperti jamur di musim hujan. Malah tumbuh subur di mana-mana. 

Hukum yang harusnya jadi panglima tertinggi keadilan. Kadang terasa tajam hanya ke bawah. Tumpul ke atas. 

Belum lagi bicara soal ketimpangan sosial. Yang kian hari kian menganga lebar. Hemat saya, semua ini berakar dari semakin menipisnya penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila tadi.

Kunci Utama Kebangkitan Pancasila

Lalu bagaimana caranya membangkitkan lagi marwah nilai-nilai luhur ini? Banyak yang bilang, rakyat yang harus mulai duluan. Dari diri sendiri. Tentu ada benarnya. 

Tapi, dari pemahaman saya, keteladanan pemimpin  jadi syarat utama. Bahkan mungkin syarat mutlak. Bukan berarti peran serta rakyat tidak penting. 

Tapi pemimpin kan ibarat nahkoda kapal. Kalau nahkodanya oleng. Kapalnya mau dibawa berlayar ke mana?

Ada sebuah teori kepemimpinan transformasional yang diperkenalkan oleh James MacGregor Burns dalam bukunya di tahun 1978. 

Menurut Burns, pemimpin sejati bukan hanya sekadar manajer. Atau administrator yang menjalankan tugas rutin (The Open University). 

Pemimpin transformasional adalah mereka yang bisa menginspirasi perubahan sosial. Melalui ketulusan. Integritas pribadi yang kokoh. Dan visi moral yang jelas. Bukan cuma pintar beretorika atau lihai bagi-bagi proyek.

Pemimpin transformasional, fokusnya mengangkat moralitas dan etika. Baik untuk diri dan pengikutnya. Inilah jenis kepemimpinan yang kita butuhkan saat ini. 

Kalau pemimpinnya jujur. Punya visi jauh ke depan. Dan benar-benar bekerja sepenuh hati untuk rakyat. Saya yakin, masyarakat dengan sendirinya tergerak mengikuti.

Generasi Muda yang Kehilangan Arah

Masalahnya, sebagian elite politik kita lebih menonjolkan simbolisme Pancasila. Tanpa ada praktik nyata dalam keseharian. 

Pidato berapi-api mengutip sila-sila Pancasila. Tapi kelakuan sehari-hari justru jauh panggang dari api. Gimana publik nggak bingung dan skeptis coba? 

Akibatnya, masyarakat jadi apatis. Bahkan sinis. Terutama generasi muda. Mereka kan generasi yang kritis. Melek informasi karena dunia ada di genggaman tangan mereka. 

Mereka jadi terasing dari ide kebangsaan. Sedih rasanya. Kalau generasi penerus bangsa merasa tidak punya ikatan emosional dengan negara sendiri.

Ini bukan sekadar tagar viral #kaburajadulu yang mencerminkan kekecewaan mereka. Ini soal masa depan bangsa yang dipertaruhkan. 

Pertanyaan kunci yang makin mendesak. Bisakah rakyat menaruh kepercayaan pada pemimpin dan elit. Yang bahkan tak mampu mencerminkan nilai luhur bangsanya sendiri. Dalam sikap dan perbuatannya?

Menjaga Api Harapan dan Terus Menuntut Ketulusan dalam Kepemimpinan

Meski awan kekecewaan ini tebal dan menyesakkan. Saya pribadi memilih tetap menjaga secercah api harapan. Ya, mau bagaimana lagi.

Saya masih percaya. Di tengah dinamika politik dan kekuasaan. Pasti masih ada individu-individu baik. Yang punya integritas di lingkar kekuasaan. Walau mungkin jumlahnya tak sebanyak kita harap. 

Semoga keyakinan saya tidak keliru. Harapan akan kebangkitan Pancasila melalui ketulusan dan keteladanan pemimpin itu harus terus kita suarakan. Kita perjuangkan.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun