Perbedaan metodologis ini tidak berarti salah satu pihak keliru. Ini menunjukkan bahwa definisi kemiskinan bergantung pada kacamata yang kita pakai.
Mengapa Ini Jadi Masalah Penting?
Perbedaan data ini menyangkut nasib jutaan orang. Angka-angka ini menjadi dasar penentuan program bantuan sosial, alokasi anggaran, dan kebijakan pemerintah.
Peneliti Jaya Darmawan dan Bakhrul Fikri dari CELIOS dalam CELIOS Working Paper 2025Â mengkritik pendekatan BPS yang konservatif.Â
Mereka menilai garis kemiskinan nasional perlu dirombak agar lebih responsif terhadap perubahan harga dan kebutuhan masyarakat modern. Misalnya, kebutuhan akses internet dan transportasi layak harus dipertimbangkan.
Luhur Arief Bima, peneliti senior The SMERU Research Institute, menunjukkan bahwa program kesejahteraan sosial nasional menjangkau kelompok lebih luas dari angka kemiskinan versi BPS.Â
Dalam laporannya 2025, ia menyatakan banyak kelompok rentan belum masuk kategori miskin secara resmi, tapi membutuhkan perlindungan sosial. Data resmi yang terlalu sempit bisa menghambat cakupan bantuan negara.
Perlu Penyesuaian, Bukan Penolakan
Kita mungkin tidak perlu memilih antara BPS atau Bank Dunia. Yang penting adalah menemukan titik temu yang relevan untuk Indonesia.
Pendekatan kombinasi sangat penting di sini. Kita bisa mempertahankan basis lokal BPS yang relevan dengan kondisi Indonesia. Namun, tambahkan elemen dari standar internasional agar sejajar dalam perbandingan global dan mencakup masyarakat rentan lebih luas.
Misalnya, garis kemiskinan bisa dibuat lebih dinamis. Ini dengan memperhitungkan variabel seperti inflasi, perubahan struktur konsumsi, dan nilai PPP untuk non-makanan seperti pendidikan dan kesehatan.Â
Ini bukan meniru metode Bank Dunia, tapi memperkaya standar nasional agar lebih akurat dan adil.
Kepala BPS sendiri sudah memberi sinyal bahwa lembaganya terbuka untuk evaluasi ulang garis kemiskinan nasional. Ini disampaikan dalam siaran pers resmi BPS Mei 2025.Â