Tapi justru menyesuaikan setelah mendengar suara warga. Inilah yang disebut citizen-centric governance. Pemerintahan yang berorientasi pada kebutuhan warga.
Kebijakan yang baik memang harus fleksibel, bukan keras kepala. Karena kenyataannya, yang hidup dan menjalani dampak kebijakan itu bukan birokrat, tapi warga.
Antara Ideal dan Nyata, Menjaga Keberlanjutan
Meski kebijakan taman 24 jam terdengar manis di atas kertas, kita perlu jujur bahwa tantangannya nyata.
Salah satu yang paling jelas adalah soal kebersihan. Legislator DKI Jakarta sudah mengingatkan bahwa dengan dibukanya taman selama 24 jam, volume sampah bisa meningkat drastis (Warta Kota, 2025).
Sebagai antisipasi, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jakarta menyatakan bahwa mereka akan menyiapkan petugas kebersihan dalam tiga shift untuk memastikan taman tetap bersih sepanjang hari (Metrotvnews.com, 2025).
Langkah yang baik. Tapi tetap perlu didukung dengan perubahan perilaku warga.
Selain petugas kebersihan, taman juga bisa jadi tempat edukasi publik. Ada poster-poster kecil yang lucu tapi informatif, pojok daur ulang, atau program volunteer mingguan.
Kita nggak bisa mengandalkan petugas saja. Lingkungan yang bersih, seperti taman yang nyaman, adalah hasil dari kerja sama antara pemerintah dan masyarakat.
Taman Sebagai Investasi Sosial
Kalau dipikir-pikir, taman kota yang buka 24 jam bukan cuma soal “ruang terbuka hijau”. Taman kota adalah ruang sosial yang tak ternilai harganya.
Tempat di mana UMKM bisa tumbuh. Warga bisa bersantai tanpa harus belanja. Anak muda bisa belajar atau sekadar duduk tenang.
Taman seperti ini menciptakan rasa memiliki terhadap kota. Ia bukan hanya tempat melepas lelah. Tapi ruang yang membuat warga merasa menjadi bagian dari komunitas yang hidup dan setara.