Jakarta uji coba taman 24 jam, wujudkan ruang publik inklusif dengan tata kelola partisipatif dan transparan.
Waktu saya dengar rencana Pemerintah Provinsi Jakarta buat membuka enam taman kota selama 24 jam mulai Juni 2025, rasanya seperti ada angin baru yang bertiup di kota ini.
Gubernur Pramono Anung dan Wakil Gubernur Rano Karno bilang ini bagian dari janji kampanye mereka. Guna menghadirkan ruang publik gratis, aman, nyaman, dan inklusif.
Taman yang buka sepanjang hari dan malam bukan sekadar gimmick politik. Tapi potensi untuk mengubah cara kita memaknai hidup di kota.
Tentu saja tidak semua orang langsung setuju. Ada yang antusias, ada juga yang waswas soal keamanan, kenyamanan, dan apakah kebijakan ini akan merata di seluruh Jakarta. Mari kita lihat isu ini dari sudut pandang administrasi publik.
Ketika Warga Dilibatkan, Taman Jadi Ruang Bersama
Taman itu bukan cuma tempat buat olahraga, tapi ruang pertemuan tanpa sekat. Orangtua, anak muda, pekerja kantoran, bahkan pelaku UMKM. Semua bercampur, berbagi ruang dan cerita.
Taman jadi hidup karena warga sekitar merasa punya hubungan dengan tempat itu. Mereka ikut merawat, menjaga, bahkan memberi saran kalau ada yang perlu dibenahi.
Menariknya, pendekatan seperti itu ternyata sudah mulai diterapkan oleh Pemprov DKI. Dalam perencanaan perluasan jam operasional taman, Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Distamhut) DKI Jakarta mengadakan Focus Group Discussion atau FGD dengan warga setempat.
Informasi ini didapat dari Berita Jakarta (2025), yang menjelaskan bahwa desain dan operasional taman dirancang berdasarkan masukan lokal. Bukan hanya keputusan satu arah dari atas. Pendekatan ini sejalan dengan temuan dari Studi Partisipasi Masyarakat di Taman Kota II BSD (UMJ, 2022).
Studi itu menyimpulkan bahwa tingkat partisipasi aktif masyarakat, seperti kemitraan (partnership) dan kontrol warga (citizen control), mampu meningkatkan keberlanjutan pengelolaan taman kota.
Artinya, ketika warga merasa dilibatkan, mereka lebih peduli dan merasa bertanggung jawab terhadap lingkungan sekitarnya.
Anggaran Bukan Tabu, Transparansi Menumbuhkan Kepercayaan
Tentu, taman yang nyaman, aman, dan buka 24 jam tidak tercipta dari udara kosong. Taman butuh penerangan tambahan, CCTV, petugas keamanan, bahkan tempat istirahat bagi penjaga taman malam hari.
Semua itu butuh anggaran. Dan ini bukan hal yang harus ditutupi. Justru, transparansi menjadi kunci.
Pemprov DKI telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 500 miliar untuk pembangunan 21 Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada tahun 2025. Dan tambahan Rp 300 miliar untuk pemberdayaan UMKM di sekitar taman (Berita Jakarta, 2025; Merdeka.com, 2025).
Alokasi ini menunjukkan keseriusan pemerintah menjadikan taman kota sebagai investasi strategis bagi kesejahteraan publik.
Namun, anggaran besar tanpa mekanisme pengawasan bisa menjadi ladang penyimpangan. Di sinilah pentingnya pengelolaan berbasis prinsip administrasi publik. Termasuk transparansi anggaran.
Bayangkan kalau tiap taman punya papan informasi kecil berisi rincian pengeluaran proyek. Biaya pencahayaan, gaji petugas, dana perawatan, dan siapa saja yang terlibat. Hal kecil seperti ini bisa membuat warga merasa lebih terlibat dan punya andil.
Ketika Pemerintah Mau Mendengar, Responsif, Bukan Sekadar Reaktif
Tapi tentu, yang namanya kebijakan publik nggak akan selalu berjalan mulus.
Salah satu contoh menarik adalah kasus Tebet Eco Park. Awalnya taman itu juga direncanakan buka 24 jam. Tapi kemudian menuai penolakan dari warga sekitar yang khawatir soal keamanan dan ketenangan lingkungan mereka.
Akhirnya, Pemprov DKI memutuskan membatasi jam operasional taman itu hanya sampai pukul 22.00 WIB.
Keputusan itu dilaporkan oleh Tirto.id (2025) dan menjadi bukti bahwa pemerintah sedang belajar menjadi lebih responsif. Mereka tidak ngotot dengan kebijakan yang dianggap “paling tahu”.
Tapi justru menyesuaikan setelah mendengar suara warga. Inilah yang disebut citizen-centric governance. Pemerintahan yang berorientasi pada kebutuhan warga.
Kebijakan yang baik memang harus fleksibel, bukan keras kepala. Karena kenyataannya, yang hidup dan menjalani dampak kebijakan itu bukan birokrat, tapi warga.
Antara Ideal dan Nyata, Menjaga Keberlanjutan
Meski kebijakan taman 24 jam terdengar manis di atas kertas, kita perlu jujur bahwa tantangannya nyata.
Salah satu yang paling jelas adalah soal kebersihan. Legislator DKI Jakarta sudah mengingatkan bahwa dengan dibukanya taman selama 24 jam, volume sampah bisa meningkat drastis (Warta Kota, 2025).
Sebagai antisipasi, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jakarta menyatakan bahwa mereka akan menyiapkan petugas kebersihan dalam tiga shift untuk memastikan taman tetap bersih sepanjang hari (Metrotvnews.com, 2025).
Langkah yang baik. Tapi tetap perlu didukung dengan perubahan perilaku warga.
Selain petugas kebersihan, taman juga bisa jadi tempat edukasi publik. Ada poster-poster kecil yang lucu tapi informatif, pojok daur ulang, atau program volunteer mingguan.
Kita nggak bisa mengandalkan petugas saja. Lingkungan yang bersih, seperti taman yang nyaman, adalah hasil dari kerja sama antara pemerintah dan masyarakat.
Taman Sebagai Investasi Sosial
Kalau dipikir-pikir, taman kota yang buka 24 jam bukan cuma soal “ruang terbuka hijau”. Taman kota adalah ruang sosial yang tak ternilai harganya.
Tempat di mana UMKM bisa tumbuh. Warga bisa bersantai tanpa harus belanja. Anak muda bisa belajar atau sekadar duduk tenang.
Taman seperti ini menciptakan rasa memiliki terhadap kota. Ia bukan hanya tempat melepas lelah. Tapi ruang yang membuat warga merasa menjadi bagian dari komunitas yang hidup dan setara.
Ketika pengelolaannya dilakukan dengan prinsip partisipasi, transparansi, dan responsivitas. Maka taman kota bisa menjadi cerminan ideal tata kelola pemerintahan yang demokratis.
Penutup
Taman 24 jam bukan cuma soal ruang yang terbuka lebih lama. Ini soal bagaimana sebuah kota memilih untuk hidup.
Apakah kita ingin hidup di kota yang eksklusif, di mana ruang nyaman hanya bisa dibeli?
Atau kota yang ramah dan terbuka, di mana semua orang, tanpa memandang usia, status ekonomi, atau latar belakang. Punya tempat untuk bernapas, duduk, dan berbagi cerita?
Kebijakan taman 24 jam di Jakarta adalah langkah awal yang menjanjikan. Tapi kebijakan ini hanya akan berhasil jika dikelola dengan cara yang bijak dan berpihak. Kita butuh pemerintah yang terbuka, warga yang aktif, dan dialog yang terus berjalan.
***
Referensi:
- Universitas Muhammadiyah Jakarta. (2025). _Studi Partisipasi Masyarakat di Taman Kota II BSD_. Pentahelix.
https: /jurnal.umj.ac.id/index.php/pentahelix/article/download/21878/10294 - BeritaJakarta.id. (2025). _Pemprov DKI Targetkan Bangun 21 RTH pada 2025_.
https: //m. beritajakarta.id/read/142536/pemprov-dki-targetkan-bangun-21-rth-pada-2025 - Tirto.id. (2025). _Agar Taman Kota 24 Jam Jadi Ruang Publik yang Nyaman & Inklusif_.
https: //tirto.id/agar-taman-kota-24-jam-jadi-ruang-publik-yang-nyaman-inklusif-harU - Merdeka.com. (2025). _4 Taman di Jakarta Bakal Buka 24 Jam, Bisa Cetak 500.000 Lapangan Kerja Baru_.
https: //www.merdeka.com/uang/4-taman-di-jakarta-bakal-buka-24-jam-bisa-cetak-500000-lapangan-kerja-baru-369660-mvk.html - MetroTVNews. com. (2025). _Taman Jakarta Beroperasi 24 Jam, DLH Pastikan Kebersihan Terjaga_.
https://www. metrotvnews. com/read/Ky6C17An-taman-jakarta-beroperasi-24-jam-dlh-pastikan-kebersihan-terjaga - Wartakota. TribunNews.com. (2025, February 26). _Legislator DKI Ingatkan Pemda Soal Potensi Peningkatan Volume Sampah Buntut Taman Kota Buka 24 Jam_. https://wartakota.tribunnews.com/2025/02/26/legislator-dki-ingatkan-pemda-soal-potensi-peningkatan-volume-sampah-buntut-taman-kota-buka-24-jam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI