Di negara-negara Skandinavia, birokrasi dikelola dengan prinsip keterbukaan dan partisipasi publik yang tinggi.
Menurut laporan Transparency International (2022), negara-negara seperti Denmark dan Finlandia memiliki birokrasi yang paling transparan dan akuntabel, karena adanya sistem checks and balances yang kuat.
Birokrasi yang terlalu lemah membuat negara tidak efektif, tapi birokrasi yang terlalu kuat bisa jadi 'pemerintahan bayangan'. Politisi ingin birokrasi yang kompeten, tapi tetap jinak.
Di Indonesia, hubungan antara politik dan birokrasi mengalami pasang surut.
Pada era Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno, birokrasi sepenuhnya didominasi oleh politik.
Slogan “politik adalah panglima” mencerminkan bagaimana keputusan administratif lebih banyak dipengaruhi oleh ideologi politik daripada pertimbangan teknokratik.
Setelah reformasi 1998, terjadi upaya serius untuk memisahkan birokrasi dari politik, yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) tahun 2014.
Menurut Alamsyah dalam makalahnya Reposisi Peran Birokrasi Publik dalam Proses Politik (2003), reformasi birokrasi bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme dan mengurangi intervensi politik dalam administrasi publik.
Namun, tantangan tetap ada. Korupsi dan praktik bureaucratic rent-seeking masih menjadi masalah besar.
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2023 masih berada di peringkat 110 dari 180 negara, menunjukkan bahwa birokrasi kita masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam hal transparansi dan efisiensi.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, satu hal yang jelas adalah bahwa administrasi negara tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai filosofis dan politik yang berkembang di masyarakat sebuah negara.