Mohon tunggu...
Dina Ahsanta Puri
Dina Ahsanta Puri Mohon Tunggu... Guru - Your story teller

Menyukai kehidupan yang damai dan sedikit lucu. Dulu sempat bercita-cita jadi atlet badminton oleh karenanya gemar menulis. Mengimani filsafat lingkaran; kebaikan melingkar, keburukan melingkar.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Kemaluan sebagai Media Renungan

21 Maret 2023   20:16 Diperbarui: 21 Maret 2023   20:21 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Identitas Buku:

 

Judul              : Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas

Pengarang      : Eka Kurniawan

Penerbit          : Gramedia Pustaka Utama

Halaman         : 243

Cetakan          : November 2014

ISBN               : 978-602-03-0393-2

Sunyi, gelap, sendiri  bukanlah petaka. Kesunyian, kegelapan dan kesendirian akan "membutakan", "menulikan", "mengasingkan" seseorang pada ruang yang tak terjamah. Jangankan kedatangan manusia lain. Suara dari mulutmu yang kerap beromong kosong pun tak mampu  didengar. Kiranya begitu, sunyi yang diajarkan oleh burung Ajo Kawir. "Hidup dalam kesunyian. Tanpa kekerasan, tanpa kebencian. Aku berhenti berkelahi untuk apa pun, aku mendengar apa yang diajarkan Si Burung."(hlm.123)

"Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati," kata Iwan Angsa perihal Ajo Kawir. (hlm. 1).  Kalimat tersebut menjadi pembuka rangkaian kisah kekerasan demi kekerasan yang melibatkan Ajo Kawir dan Si Tokek, anak Iwan Angsa, sejak masa kanak-kanak hingga mereka dewasa. Termasuk kekerasan psikologis yang mengakibatkan "trauma kemaluan" Ajo Kawir hingga tak bisa ereksi.

Kehidupan Ajo Kawir dan Si Tokek di desa, mengeksplorasi kehidupan batin manusia Indonesia di penghujung tahun 90-an. Kegiatan di surau atau langgar, sekolah, komik api neraka hingga cerita silat dan stensilan yang sampai ke desa-desa dan dibaca oleh anak-anak muda pula anak kecil pada masa itu. Tak ketinggalan, cerita tentang preman-preman yang ditemukan mati  misterius.

Pada masa itu, kekerasan di negeri ini memang sedang berada di puncak keberingasan. Membaca novel ini, pembaca akan dibuat tertawa dan menangis bersamaan. Tanpa sadar, pembaca digiring untuk menertawakan kekonyolan kaumnya sendiri;manusia.  Dapat ditilik dari  rangkain kisah penuh adegan perkelahian, kerasnya jalanan, dan lumuran darah, tapi pembaca seolah tak pernah diberi celah untuk bersimpati kepada korban. Sebagai gantinya, darah dan air mata justru menjadi komedi, dengan media burung Ajo kawir; serupa sufi yang memberi pelajaran lewat renungan.

Kemaluan dan Renungan

 "Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala. Itu yang kupelajari dari milikku selama bertahun-tahun ini" (hlm.126). 

"Tapi kemaluan juga bisa memberimu kebijaksanaan. Itu juga kupelajari dari milikku," kata Ajo kawir. (hlm 126.)

Eka Kurniawan memadukan dua hal yang sesungguhnya memiliki makna berlawanan: kemaluan dan renungan.  Kemaluan yang identik dengan nafsu dan renungan yang khas dengan ketenangan batin. Perjalanan menempuh sunyi dan keterasingan burung Ajo  Kawir serupa jalan yang dilalui Soe Hok Gie di buku hariannya yang telah dibukukan menjadi Catatan Seorang Demostran serta perjalan hidup Muhidin M. Dahlan dalam bukunya, Jalan Sunyi Seorang Penulis. 

Dari kalimat pembuka di novel ini saja, saya membayangkan novel ini dibaca oleh para perempuan sambil menjerit risih, jijik dan dibaca oleh para lelaki dengan tertawa-tawa. Namun,  keduanya merasakan hal yang sama: penasaran dan tidak bisa berhenti membaca. Seperti hal-hal vulgar dan jujur lainnya, mereka seolah-olah menolak dan menertawai, tidak ingin terseret oleh kevulgaran karena bagi mereka itu dapat menurunkan harkat derajat dan martabat mereka. Namun dalam hati, mereka tidak bisa melawan daya pikat kevulgaran dan kejujuran tersebut.  Kevulgaran dan kejujuran yang disuguhkan oleh si pengarang. Sebab, sesungguhnya baik si lelaki dan si perempuan, memang diciptakan dari sesuatu yang vulgar, sesuatu yang jujur, kemaluan.

Eka Kurniawan seperti menyetting ulang otak mausia yang menabukan perihal kemaluan. Kemaluan yang  selalu mengandung makna negatif  diputar balik menjadi obyek pencerahan. Nampaknya kita perlu berpikir, mengapa adam dan hawa diciptakan tanpa proses perkelaminan dan sekarang manusia harus berkembangbiak melalui perkelaminan.

Kisah yang disajikan Eka Kurniawan bergerak liar, sekaligus vulgar. Tapi Eka tidak jatuh murahan dengan segala vulgar yang disajikannya, karena vulgarnya merupakan konsekuensi dari ide cerita yang dibagunnya sejak awal. Bukan untuk bergenit-genit atau mengeksploitasi seksualitas demi sensasi cerita.   Karakter -karakter ciptaan Eka Kurniawan begitu kuat, sulit bagi kita untuk berhenti membaca, ditambah bumbu humor berbau satir seperti dalam karya lainnya, Cantik itu Luka, Gelak Sedih, Lelaki Harimau dan Corat-Coret di Toilet.

Kekuatan Eka Kurniawan dalam pemilihan ide, kata dan alur ialah kelebihan yang sekaligus bisa menjadi kekurangannya. Intensitas adegan perkelahian dan kebut-kebutan truk di jalanan yang tinggi, pemilihan kata yang vulgar, beberapa orang mungkin akan menghindarkan diri untuk membacanya. Penulisnya, sedari awal tentu saja telah menyadari konsekuensinya. Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, bukan untuk dibaca semua kalangan, tidak semua kelompok umur bisa menikmati kisah yang demikian.  Meski di sampul belakang ada keterangan  21+,  namun itu kembali ke tingkat kedewasaan pemikiran si pembaca. Sebab tua itu pasti dan dewasa itu pilihan.

(*) Juara 1 Lomba Menulis Resensi UPT Perpustakaan UPGRIS 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun