Ada luka yang tak pernah tampak di kulit, tapi menetap jauh di dalam batin. Luka itu tak berdarah, tak berbekas secara kasat mata, namun ia merayap perlahan, meninggalkan jejak getir dalam ingatan dan rasa. Kadang ia lahir dari kehilangan, kadang dari pengkhianatan, kadang dari kesepian yang panjang, dan kadang dari kekecewaan yang tak sempat diungkapkan. Luka batin adalah bisikan gelap yang menyelinap ke ruang jiwa, mengaburkan cahaya, membuat manusia merasa terasing bahkan dari dirinya sendiri.
Namun, sejarah spiritual manusia menunjukkan bahwa ada jalan penyembuhan. Jalan itu bukan sekadar terapi psikologis, bukan hanya pelarian ke dalam kesibukan, melainkan sebuah laku batin: menafsirkan kehidupan lewat metafora dan simbol spiritual. Sejak zaman purba, manusia selalu mencari bahasa yang lebih tinggi daripada sekadar kata---bahasa cahaya yang berbicara lewat simbol, kisah, dan metafora. Inilah yang saya sebut sebagai bagian dari Trilogi Cahaya: metafora yang menyembuhkan luka batin.
Luka yang Mengajarkan Manusia Menjadi Dalam
Pernahkah kita merenung bahwa luka batin, meski pahit, sering kali justru menjadi pintu bagi kedalaman jiwa? Seperti tanah yang retak karena kemarau, justru dari rekahan itulah air hujan bisa meresap, memberi kehidupan. Luka batin membuat manusia rapuh, tapi sekaligus membuka ruang untuk sesuatu yang lebih lembut masuk: makna.
Ada pepatah tua yang mengatakan, "Cahaya masuk melalui retakan." Retakan batin yang selama ini kita anggap kelemahan, sesungguhnya adalah celah tempat cahaya bisa hadir. Jika hidup selalu mulus, kita mungkin tak pernah belajar mengenal kedalaman doa. Jika hati tak pernah patah, kita mungkin tak pernah benar-benar memahami makna cinta. Jika jiwa tak pernah terjatuh, kita mungkin tak pernah belajar bagaimana cara bangkit.
Dengan kata lain, luka bukan sekadar beban. Ia adalah guru. Ia adalah kitab kehidupan yang tidak tertulis dengan tinta, melainkan dengan air mata.
 Ilustrasi Kisah Nyata:
Seorang ibu di Flores Timur pernah bercerita tentang kehilangan anaknya karena sakit. Di hari-hari pertama, ia seperti tenggelam dalam kesedihan. Namun setiap kali ia pergi ke ladang, menatap padi yang menguning lalu dipanen, ia berkata pada dirinya sendiri: "Anakku mungkin seperti padi ini, telah masak, telah dipanen Tuhan lebih dulu." Metafora sederhana itu menjadi cara ia bertahan. Dari air mata di sawah, ia menemukan kekuatan untuk tetap hidup.
Metafora: Bahasa Cahaya yang Menyentuh Luka
Di sinilah metafora mengambil peran. Luka batin sering kali terlalu rumit untuk dijelaskan dengan bahasa biasa. Kata-kata rasional kerap gagal menenangkan jiwa yang retak. Tapi metafora---bahasa kias, bahasa simbolik, bahasa cahaya---mampu menjangkau kedalaman itu.