Ketika hujan turun, ia tidak sekadar membasahi tanah. Ia membawa pesan: bahwa rahmat selalu mengalir dari langit, dan setiap tetesnya adalah doa yang jatuh ke bumi. Sedangkan pelangi yang muncul setelah badai bukan sekadar fenomena optik, tetapi perjanjian rahasia bahwa setiap kesulitan pasti berakhir dengan keindahan.
Bahasa ini hanya dapat didengar oleh jiwa yang sunyi---jiwa yang mau hening, jiwa yang tak lagi dikuasai oleh riuh dunia. Maka, siapa pun yang belajar mendengar bahasa alam, sesungguhnya ia sedang belajar bahasa Tuhan.
Jiwa yang Mendengar
Pertanyaannya: bagaimana jiwa bisa mendengar bahasa rahasia ini?
Pertama, dengan keheningan. Seperti air yang jernih hanya bisa memantulkan cahaya bila tak keruh, demikian pula jiwa kita. Selama hati dipenuhi kebisingan nafsu, kita hanya akan mendengar gema ego sendiri, bukan bisikan semesta.
Kedua, dengan kepekaan. Seorang petani bisa membaca tanda langit untuk menentukan musim tanam. Seorang nelayan bisa membaca arah angin untuk menentukan keberangkatan. Begitulah juga jiwa: semakin peka, semakin ia mampu menangkap simbol yang Tuhan titipkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, dengan kerendahan hati. Alam tidak pernah tunduk pada manusia yang sombong. Tetapi bagi jiwa yang merendah, semesta membuka pintu-pintu rahasia. Sebab yang berbisik bukan sekadar angin, melainkan Sang Peniup kehidupan itu sendiri.
Simbol Spiritual dalam Kehidupan Sehari-hari
Mari kita lihat lebih dekat.
Mentari pagi adalah bahasa kesetiaan. Setiap hari ia datang tanpa pernah terlambat, mengajarkan kita tentang keteguhan janji.
Senja adalah bahasa perpisahan yang indah. Ia mengajarkan bahwa akhir dari sesuatu tidak selalu harus getir; bisa juga memerah, hangat, dan penuh syukur.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!