Mohon tunggu...
Ahmad Husen
Ahmad Husen Mohon Tunggu... PENGGAGAS TRILOGI CAHAYA: Lentera Jiwa | Pelita Negeri | Cahaya Semesta

Penulis Trilogi Cahaya: Lentera Jiwa, Pelita Negeri, dan Cahaya Semesta. Menulis untuk menyalakan hati, membangun negeri, dan merajut harmoni semesta. Berbagi kisah, refleksi, dan gagasan yang menuntun jiwa menuju kedamaian yang tak tergoyahkan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

TRILOGI CAHAYA: Bahasa Rahasia untuk Jiwa yang Mendengar

1 September 2025   09:50 Diperbarui: 1 September 2025   09:46 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Danau Sunyi di Senja Hari - Trilogi Cahaya by Ahmad Husen

Ada sebuah bahasa yang tak tertulis di kitab manusia, namun terpatri di kitab semesta. Ia bukan bahasa huruf, bukan pula deretan angka, melainkan getaran yang hanya bisa ditangkap oleh jiwa yang mau mendengar. Bahasa ini adalah bisikan rahasia alam---dari desir angin yang melewati dedaunan, nyanyian air yang menabrak batu, hingga keheningan malam yang menampung doa tanpa kata.

Kita hidup di tengah samudra tanda-tanda, namun seringkali telinga kita hanya terlatih mendengar hiruk-pikuk dunia, bukan pesan yang disampaikan oleh bumi dan langit. Padahal, sejak mula penciptaan, Tuhan menjadikan alam sebagai kitab kedua, sesudah wahyu, agar manusia tak tersesat dalam mencari arah pulang.

Alam sebagai Cermin Jiwa

Cobalah sesekali duduk di tepi sungai. Lihatlah air yang mengalir. Ia tak pernah bertanya ke mana harus pergi, ia hanya mengikuti hukum alami yang menuntunnya menuju samudra. Bukankah itu cermin bagi jiwa kita? Bahwa ada arus takdir yang mengalir, yang seharusnya kita ikuti dengan pasrah namun tetap penuh ikhtiar.

Pepohonan pun mengajarkan kita tentang sabar dan teguh. Akar mereka mencengkeram tanah dengan diam, sementara ranting menjulang ke langit dengan percaya diri. Mereka tahu: hanya dengan menanamkan diri ke bumi, barulah bisa menyentuh langit. Begitu pula jiwa manusia---tak akan pernah mencapai cahaya Ilahi jika tak terlebih dahulu berakar dalam kerendahan hati.

Gunung, dengan keheningannya, seakan berkata: "Aku tidak bergerak, tetapi aku mengajarkan keteguhan." Sedang lautan, dengan gelombangnya, berkata: "Aku senantiasa bergolak, namun aku mengajarkan keluasan."

Apakah jiwa kita cukup bening untuk menangkap bahasa rahasia itu? Atau justru keruh oleh debu ambisi dunia sehingga kita hanya melihat batu sebagai batu, air sebagai air, angin sebagai angin---tanpa mampu menyingkap makna yang tersembunyi di baliknya?

Bahasa yang Bukan Kata

Bahasa alam tidak sama dengan bahasa manusia. Ia bukan kalimat yang bisa kita tuliskan atau perdebatan yang bisa diperdegarkan. Bahasa alam adalah resonansi: sebuah getaran yang menyentuh lapisan terdalam dari jiwa.

Burung-burung tidak sedang bernyanyi untuk menghibur kita. Mereka sedang berdzikir dengan caranya. Ombak tidak berdebur untuk melawan pantai, tetapi untuk mengajarkan kita tentang siklus keabadian: datang dan pergi, jatuh dan bangkit, pasang dan surut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun