Mohon tunggu...
Ahmad Husen
Ahmad Husen Mohon Tunggu... PENGGAGAS TRILOGI CAHAYA: Lentera Jiwa | Pelita Negeri | Cahaya Semesta

Penulis Trilogi Cahaya: Lentera Jiwa, Pelita Negeri, dan Cahaya Semesta. Menulis untuk menyalakan hati, membangun negeri, dan merajut harmoni semesta. Berbagi kisah, refleksi, dan gagasan yang menuntun jiwa menuju kedamaian yang tak tergoyahkan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

TRILOGI CAHAYA: Cahaya yang Menuntun di Malam Tersunyi

24 Agustus 2025   08:07 Diperbarui: 24 Agustus 2025   08:07 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cahaya yang Menuntun di Malam Tersunyi - Trilogi Cahaya by Ahmad Husen

Ada satu momen dalam kehidupan manusia yang paling jujur, paling telanjang dari segala kepura-puraan. Momen itu bukan ketika kita berada di hadapan banyak orang, bukan pula saat kita berpidato lantang, tersenyum ramah, atau sibuk memainkan peran di panggung dunia. Momen itu hadir justru ketika malam sudah sangat larut, ketika riuh dunia telah mereda, dan hanya suara hati yang terdengar di ruang batin kita yang paling dalam. Itulah malam tersunyi.

Di malam tersunyi itu, topeng-topeng yang kita kenakan di siang hari mulai runtuh. Segala pencapaian yang kita banggakan tampak rapuh, segala kegagalan yang kita sembunyikan mendesak keluar, dan segala keresahan yang kita tekan muncul ke permukaan. Di sanalah jiwa menemukan dirinya tanpa hiasan. Jiwa menemukan bahwa ia sedang berada dalam kegelapan yang tak bisa ditutupi lampu kota atau layar gawai. Dan di sanalah, cahaya sejati ditunggu—cahaya yang menuntun di malam tersunyi.

Malam sebagai Cermin Jiwa

Malam selalu menjadi simbol yang mendalam dalam perjalanan spiritual manusia. Gelapnya malam adalah cermin dari batin yang diliputi keraguan, ketakutan, bahkan kesepian. Namun, justru dalam gelap itulah bintang-bintang berani menampakkan diri. Gelap adalah panggung bagi cahaya untuk menegaskan keindahannya.

Begitulah jiwa manusia. Ketika semuanya terang benderang, kita jarang merenung. Kita mudah terbuai oleh keramaian, pujian, dan hiruk pikuk dunia. Namun saat gelap menyelimuti, saat dunia luar tak lagi bisa mengalihkan perhatian, barulah kita dipaksa menatap ke dalam. Malam tersunyi itu bukanlah kutukan, melainkan pintu gerbang.

Tidak mengherankan bila malam sering disebut sebagai waktu paling spiritual. Nabi Musa a.s. berbicara dengan Tuhannya di bukit Sinai dalam keheningan. Nabi Muhammad saw. menerima wahyu pertama di Gua Hira pada malam yang gelap, sunyi, dan penuh misteri. Bahkan Al-Qur’an sendiri diturunkan pada malam yang disebut Lailatul Qadar, malam yang lebih baik daripada seribu bulan.

Malam bukan hanya ruang untuk beristirahat, tetapi juga ruang untuk menyadari siapa kita sebenarnya.

Pertarungan Batin di Malam Gelap

Namun, malam tersunyi tidak selalu terasa menenangkan. Ia seringkali menjadi medan pertarungan batin yang sengit. Di situlah bayang-bayang masa lalu datang menghantui, rasa bersalah menyelinap tanpa permisi, dan pikiran-pikiran gelap berusaha menenggelamkan harapan.

Seorang sahabat pernah berkata, “Di siang hari aku sibuk melawan dunia, tapi di malam hari aku sibuk melawan diriku sendiri.” Kata-kata itu mengingatkan kita, bahwa justru saat sepi, suara hati yang kita tutupi sepanjang hari mulai berbicara.

Namun pertarungan itu tidak sia-sia. Setiap kali jiwa berhasil memilih cahaya di tengah gelap, ia menjadi lebih kuat dengan cara yang tidak pernah bisa diberikan oleh kemenangan di panggung dunia. Malam tersunyi adalah ujian, dan cahaya fitrah adalah kompasnya. Mereka yang mampu bertahan, akan menemukan fajar baru.

Cahaya yang Menuntun

Cahaya seperti apa yang menuntun jiwa di malam tersunyi? Ia bukan cahaya lampu kamar, bukan pula cahaya layar gawai yang kita gunakan untuk mengusir sepi. Cahaya yang menuntun jiwa adalah cahaya yang tidak berasal dari luar, melainkan dari dalam. Ia lahir dari titik terdalam jiwa kita yang paling jernih.

Cahaya itu adalah fitrah, sebuah lentera kecil yang ditanamkan Tuhan sejak kita dilahirkan. Lentera itu sering redup karena tertutup debu dunia: keserakahan, iri hati, kebencian, penyesalan, dan luka yang tak terobati. Namun cahaya itu tidak pernah padam sepenuhnya. Ia selalu menunggu kita membersihkannya.

Al-Qur’an menggambarkan cahaya ini dengan indah:

“Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tidak tembus, di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang yang bercahaya...” (QS. An-Nur: 35).

Cahaya itu selalu ada, bahkan ketika dunia kita diliputi gelap. Ia hanya menunggu kita untuk menengoknya kembali.

Kisah Nyata: Malam Sunyi Sang Pencari

Seorang ulama besar, Imam Syafi’i, pernah dikenal sebagai sosok yang rajin menegakkan shalat malam. Beliau berkata, “Barangsiapa ingin hatinya terang, maka hendaklah ia memperbanyak shalat di malam hari.”

Dalam konteks modern, kisah serupa juga sering kita dengar. Ada seorang pemuda yang hidupnya bergelimang pesta dan hiruk pikuk kota. Namun pada suatu malam, ketika sendirian di kamar, ia merasa hampa. Tidak ada hiburan yang bisa menutupi kegelisahannya. Dalam keputusasaan, ia menyalakan lampu kecil, duduk, lalu mencoba berdoa meski sudah lama ia melupakan Tuhannya. Malam itu menjadi titik balik: air mata mengalir, dadanya lega, dan esoknya ia bertekad untuk hidup lebih bermakna.

Kisah-kisah ini mengingatkan kita bahwa malam tersunyi bukan akhir, melainkan awal. Di situlah cahaya sering kali menuntun jiwa kembali pada arah yang benar.

Cahaya dalam Doa Malam

Tidak ada yang lebih indah di malam tersunyi selain doa. Doa bukan sekadar permintaan, melainkan obrolan intim antara jiwa dan Penciptanya. Saat bibir bergetar menyebut nama-Nya, saat air mata jatuh tanpa bisa ditahan, saat tangan menengadah dalam kerendahan hati—di situlah cahaya turun dengan derasnya.

Nabi Muhammad saw. bersabda:
“Salat yang paling utama setelah salat fardu adalah salat malam.” (HR. Muslim).

Doa malam adalah jembatan antara bumi dan langit. Setiap kalimat adalah anak tangga, setiap air mata adalah cahaya yang menuntun. Bahkan, banyak orang yang menemukan kekuatan untuk menghadapi siang yang berat justru karena malam sebelumnya mereka sempat berdialog dengan Tuhannya.

Fajar yang Dilahirkan dari Gelap

Pernahkah kita merasakan betapa indahnya fajar setelah malam yang panjang? Saat langit mulai berwarna keemasan, saat burung berkicau menyambut pagi, ada harapan baru yang lahir. Fajar bukan sekadar perubahan waktu, ia adalah tanda bahwa setiap gelap memiliki akhirnya.

Demikian pula perjalanan jiwa. Setiap malam tersunyi yang kita hadapi, jika kita ikuti cahaya yang menuntun, pasti akan melahirkan fajar. Fajar itu bisa berupa kesadaran baru, keberserahan total kepada Tuhan, atau keberanian untuk memulai hidup dengan cara yang lebih bermakna.

Cahaya yang Membumi

Namun, cahaya yang menuntun di malam tersunyi bukan hanya untuk diri kita sendiri. Ia bukan sekadar pengalaman spiritual yang indah, lalu berhenti di situ. Cahaya itu seharusnya menjadi bekal untuk kehidupan sehari-hari.

Orang yang menemukan cahaya di malam sunyi akan bersikap lebih sabar di siang hari. Ia tidak mudah terombang-ambing oleh dunia, karena ia tahu ada cahaya yang lebih abadi. Ia menjadi lentera bagi keluarganya, teman-temannya, bahkan masyarakatnya.

Cahaya itu menetes dari doa menjadi sikap, dari renungan menjadi tindakan, dari kesunyian menjadi kebermanfaatan.

Langkah Praktis Menyambut Cahaya Malam Tersunyi

Agar malam tersunyi tidak hanya menjadi ruang kegelisahan, tetapi benar-benar menjadi jalan bertemu cahaya, ada beberapa langkah sederhana yang bisa kita lakukan:

1. Matikan layar setengah jam sebelum tidur. Biarkan pikiran tenang tanpa distraksi.

2. Ambil wudhu sebelum tidur, rasakan kesegaran sebagai simbol pembersihan jiwa.

3. Luangkan 5–10 menit hening untuk berzikir atau membaca doa pendek sebelum berbaring.

4. Bangun sedikit lebih awal untuk shalat tahajjud, meski hanya dua rakaat.

5. Tulis jurnal refleksi setelah doa malam, sekadar mencatat rasa syukur atau harapan sederhana.

Langkah-langkah kecil ini, bila dilakukan dengan konsisten, bisa membuka pintu cahaya yang menuntun.

Penutup: Menjadi Cahaya di Gelap Dunia

Saudaraku, malam tersunyi bukanlah kutukan. Ia adalah anugerah. Ia adalah ruang di mana kita akhirnya bisa mendengar suara jiwa, menemukan cahaya fitrah, dan kembali kepada Sang Cahaya di atas segala cahaya.

Maka janganlah takut pada malam tersunyi. Sambutlah ia dengan doa, dengan zikir, dengan keberanian menatap batin sendiri. Biarkan cahaya itu menuntunmu. Sebab siapa pun yang berjalan mengikuti cahaya di malam tersunyi, pada akhirnya akan sampai pada fajar yang penuh kedamaian.

Karena bukankah tujuan kita bukan sekadar melewati malam, tetapi menemukan cahaya yang mampu menuntun sampai ke langit ilahi

---

✦ Catatan Jiwa

Mungkin malam ini adalah malam tersunyi bagimu. Jangan biarkan gelap menakutkanmu. Tenangkan hati, tarik napas, sebut nama-Nya. Cahaya itu ada di dalam dirimu, menunggu untuk kamu ikuti. Setiap air mata yang jatuh di malam tersunyi akan menjadi permata cahaya di jalanmu menuju pagi.

Tag: #TrilogiCahaya #piritualJourney #RenunganMalam #FitrahJiwa #KompasianaSpiritual #InspirasiHidup

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun