Dalam beberapa minggu terakhir, publik kembali menyaksikan gelombang demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah. Aksi di Pati pada pertengahan Agustus lalu yang memicu hak angket DPRD, diikuti pula oleh rencana aksi buruh di depan Gedung DPR RI hari ini. Fenomena ini menunjukkan bahwa suara rakyat tidak lagi cukup hanya ditampung dalam ruang formal atau yang ada dalang yang menggerakkan dengan membiayai karena tidak puas terhadap keputusan yang di berikkan pemerintah, melainkan juga mengalir deras ke jalan-jalan. Inilah wajah demokrasi Indonesia yang hidup. Rakyat berani bersuara ketika merasa kebijakan yang diambil tidak berpihak kepada kepentingan mereka atau golongan yang dibiayai.
Sejarah Indonesia sejak akhir Orde Baru hingga kini memperlihatkan betapa mahalnya harga sebuah aspirasi rakyat. Pada kerusuhan Banjarmasin tahun 1997, tercatat 137 orang tewas dan berbagai fasilitas publik---mall, hotel, rumah, serta tempat ibadah---hangus terbakar. Puncaknya, kerusuhan Mei 1998 menelan lebih dari 1.000 korban jiwa, disertai ratusan kasus kekerasan seksual dan kerugian materi mencapai Rp3,1 triliun akibat hancurnya pusat perbelanjaan, pasar, dan gedung-gedung.Perjuangan mahasiswa pun berdarah: Tragedi Trisakti (1998) menewaskan 4 mahasiswa, diikuti penembakan Semanggi I (17 korban jiwa) dan Semanggi II (12 korban jiwa) yang menambah daftar duka bangsa. Barang-barang publik rusak, lalu lintas lumpuh, dan ibu kota sempat berubah menjadi arena kekerasan. Memasuki era reformasi, demonstrasi tetap menjadi sarana penting untuk menyuarakan aspirasi, namun masih menyisakan catatan luka. Insiden Papua 2019, demo menolak Omnibus Law 2020, hingga aksi menolak kenaikan BBM 2022 menunjukkan pola serupa: puluhan korban luka, fasilitas publik terbakar, bahkan kendaraan aparat maupun masyarakat rusak.
Ringkasan Korban Demo & Kerusakan (1997--2025)
Tahun / Peristiwa
Korban Jiwa
Luka-luka / Lainnya
Kerusakan & Kerugian
Banjarmasin (1997)
137 tewas
--
Mall, hotel, rumah, tempat ibadah terbakar