Di dapur rumah kami, selalu ada satu benda yang tak pernah tergantikan: cobek batu yang sudah tua, permukaannya kasar dan penuh goresan. Setiap kali ibu menumbuk cabai, bawang, dan garam di atasnya, aroma pedas yang khas segera memenuhi udara, membuat siapa pun yang berada di rumah langsung tahu akan ada sambal yang siap menemani makan siang.
Cobek itu bukan barang baru. Bahkan warnanya sudah menghitam karena sering dipakai bertahun-tahun. Namun, justru di situlah letak istimewanya. Setiap rasa sambal yang lahir darinya punya cita rasa yang berbeda lebih hidup, lebih dalam seolah menyimpan ingatan dari setiap kali ia digunakan. Ibu selalu berkata, "Sambal enak bukan cuma soal bahan, tapi soal kesabaran waktu menumbuknya."
Setiap kali aku melihat ibu duduk di bangku kecil sambil menumbuk cabai, ada pemandangan yang membuatku diam. Gerakannya berulang, tapi penuh perasaan. Di sela-sela itu, ia kadang berbicara kecil bertanya tentang hariku, mengingatkanku untuk makan dengan tenang, atau sekadar tersenyum melihatku yang selalu tak sabar menunggu.
Cobek batu itu menjadi saksi begitu banyak cerita keluarga. Dari makan sederhana dengan tempe goreng hingga momen spesial saat keluarga besar berkumpul, sambal di atas cobek itu selalu menjadi pusat yang menyatukan semua orang. Bahkan ketika lauknya biasa saja, sambal itulah yang membuat makan terasa lebih nikmat.
Seiring waktu, aku mulai sadar bahwa rasa sambal itu bukan hanya soal bumbu. Ia adalah rasa cinta yang ditumbuk perlahan bersama cabai dan bawang. Cinta yang hadir dalam kesabaran, dalam rutinitas yang dilakukan tanpa keluhan, dalam usaha kecil yang membuat keluarga merasa lengkap.
Ketika aku tinggal jauh dari rumah, aku pernah mencoba membuat sambal sendiri. Rasanya tidak pernah sama. Ada yang hilang, sesuatu yang tidak bisa digantikan meski aku memakai bahan yang sama persis. Mungkin yang hilang adalah sentuhan ibu sentuhan cinta yang diam-diam membuat sambal itu terasa istimewa.
Kini, setiap kali aku pulang, melihat cobek tua di dapur selalu membuatku merasa dekat dengan rumah. Meski sederhana, cobek itu adalah simbol yang mengingatkanku bahwa cinta kadang hadir dalam bentuk paling kecil dalam rasa pedas sambal yang selalu membuat makan terasa lebih hangat.
Cobek batu itu mungkin suatu hari akan retak atau pecah, tapi cinta yang tersimpan di setiap sambal buatan ibu tidak akan pernah hilang. Ia sudah tertanam di ingatan, menjadi rasa yang tak tergantikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI