Mohon tunggu...
Ahmad Effendi
Ahmad Effendi Mohon Tunggu... Jurnalis - Berjalan sendiri adalah pilihan, bergumul dengan sosial adalah hakekat.

Mahasiswa Sejarah di salah satu perguruan tinggi kota Yogyakarta. Pecinta sastra dan musik.

Selanjutnya

Tutup

Film

"Joker": Tentang yang Jahat dan Pembebasan Naluri

7 Desember 2019   11:02 Diperbarui: 7 Desember 2019   11:08 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Mengutip konsep "Will to Power" dari Nietzsche. Ia meyakini hakekat manusia adalah hasrat untuk berkuasa. Ia percaya bahwa penerimaan terhadap penderitaan akan membimbing manusia ke dalam subtilitas (keagungan) eksistensi kemanusiaannya. Pembebasan dari terpasungnya hasrat naluriahnya yang kemudian akan mengubah manusia menjadi Ubermensch 'manusia super'.

Joker adalah sosok Ubermensch tersebut. Ia adalah salah satunya. Ia telah berani mendobrak hasrat alamiah manusia, melakukan kekerasan -- kembali mengutip konsep Freud -- dan menjadi manusia yang berfikir bebas. Ia tak lagi memberikan nilai terhadap dirinya dengan menengok dunia luar. Ia tak lagi gentar menghadapi segala dorongan dari luar. Pada akhirnya, ia percaya bahwa, ya, Joker tetaplah Joker.

Artinya, Joker bukanlah sosok yang jahat. Ia hanya manusia yang melepas pasungnya. Si Badut telah melepas belenggunya. Jadi, Joker telah melampaui manusia lain, bukan?

Joker, selalu menganggap bahwa keberadaban hanyalah omong kosong. Segala bentuk keteraturan bukanlah hal yang absolut. Bagi dia, yang benar adalah bahwa manusia tak ubahnya binatang. Baginya yang menjadi pembeda, manusia dipasung dengan banyaknya aturan. Aturan-aturan absurd itulah yang ia anggap merubah binatang menjadi manusia.

Mengutip perkataannya dalam The Dark Knight, "Aturan moral masyarakat adalah lelucon yang buruk. Lenyap sejak masalah muncul. Mereka hanya akan menjadi baik sebagaimana yang diinginkan dunia. Lihatlah, akan kuperlihatkan. Ketika segala hal berantakan, orang-orang beradab ini akan saling memakan satu sama lain."

Pada akhirnya, kita tak bisa memilih Joker yang mana. Apakah "Si Badut yang membutuhkan satu hari buruk untuk menjadi Joker" atau "Si Badut dengan kehidupan kelam dan tragis hingga menciptakan Joker".

Karena, Joker tetap Joker. Ia adalah lambang dari pembebasan terhadap hasrat. Dirinya merupakan lambang dari manusia yang unggul. Joker adalah pendobrak kebebalan aturan sosial. Kemudian, ia menjadi "si tukang menertawakan" moralitas.

Jadi, yang kelihatan memang "Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti". Akan tetapi, sebenarnya "Orang jahat adalah kita semua." Harus kita akui, Joker bukan representasi kutipan pertama, dan mungkin saja bukan yang kedua. Joker ada pada diri kita semua. Karena pada akhirnya, kita semua bisa menjadi "Joker".


Artikel ini pernah dipublikasikan di media daring: www.philosofisonline.com (LPM FIS UNY) dengan judul yang sama pada 18 November 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun