Mohon tunggu...
Suprihadi SPd
Suprihadi SPd Mohon Tunggu... Penulis - Selalu ingin belajar banyak hal untuk dapat dijadikan tulisan yang bermanfaat.

Pendidikan SD hingga SMA di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Kuliah D3 IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang UNY) dilanjutkan ke Universitas Terbuka (S1). Bekerja sebagai guru SMA (1987-2004), Kepsek (2004-2017), Pengawas Sekolah jenjang SMP (2017- 2024), dan pensiun PNS sejak 1 Februari 2024.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Percobaan Jahat Menjelang Senja

22 April 2024   16:53 Diperbarui: 22 April 2024   16:55 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Percobaan Jahat Menjelang Senja

Warung kecil yang kami kelola selalu ramai pada jam-jam tertentu. Sejak buka pukul sepuluh pagi, pembeli sudah berdatangan. Tepatnya, mampir atau singgah saat melakukan perjalanan. Mayoritas pembeli di warung kami adalah orang yang sedang lewat baik mengendarai motor maupun mobil.

Posisi warung yang strategis memudahkan pembeli untuk singgah sebentar. Mereka tidak perlu repot memutar jalan atau masuk gang untuk menuju warung kami. Mereka cukup menepikan kendaraannya, memarkir, singgah sebentar, beli minuman yang kami jual, lalu bisa segera pergi.

"Pakai nangka atau tidak, Pak?" tanyaku pada pembeli yang baru saja turun dari sepeda motor.

"Dua,ya, pakai nangka!" tutur pria itu sambil memandangku dengan sorot mata nakal.

Hal itu sudah biasa aku alami. Sebagai seorang wanita yang berjualan di warung pinggir jalan, aku harus jaga diri. Para pembeli, khususnya laki-laki, sering menggoda atau sekadar melotot ke arahku. Kerudung yang aku kenakan tidak membuat mereka malu atau sungkan menatap wajahku. Padahal aku sudah berusaha tampil apa adanya. Tidak memakai lipstik, tidak memakai bedak, atau gincu.

Jilbab yang aku kenakan juga jilbab yang 'syar'i', bukan  sekadar kain penutup rambut. Cara bicaraku dalam melayani pembeli juga dengan suara yang standar, tidak dibuat-buat layaknya seorang pelayan di kafe-kafe kota besar yang pernah aku tonton di televisi. Intinya, aku tidak kemayu. Tidak genit. Tidak centil. Aku tampil lugu.

"Kalau sore tutup jam berapa?" tanya lelaki itu sambil melihat arloji di tangannya.

"Tidak tentu, Pak. Kalau dagangan sudah habis, ya, kami tutup. Kalau belum habis, kami buka di sini sampai pukul lima sore," jawabku lugas.

"O ... berarti nanti saya sekembali dari seberang bisa mampir ke sini lagi," tuturnya dengan wajah ceria.

"Semoga belum habis," tuturku pendek sambil menyerahkan dua porsi es dawet ayu kepada lelaki itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun