Mohon tunggu...
Ahmad Arpan Arpa
Ahmad Arpan Arpa Mohon Tunggu... Freelancer - Filsuf

Alumnus Unindra-Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Writer Enthusias, a ghost writer.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Seorang Nenek Datang ke Puskesmas Minta Suntik Mati

12 September 2023   07:55 Diperbarui: 12 September 2023   09:31 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ku terima hidup di dunia yang fana
walau sering dipenuhi duka
di hati

Dimana tempat yang benar tentram
selain di rumah
di rumah, di rumah, di rumah

Utuslah juru selamat yang paham
betapa sesaknya hati
Suaranya sunyi
Tak keluar lagi bunyi

Baca juga: Dua Anak Kecil

Tunjukkan dimana tempat yang benar tentram
Aku tak menemukannya jua
Selain di surga
di surga, di surga, di surga

Seorang nenek datang sendiri
Menemui malaikat maut
Malaikat bingung, dalam daftar kematian nenek ini belum ada namanya

Apa kabar, Nek? Ada perlu apa? Datang kesini naik apa? Sama siapa? Anaknya dimana?

Ada yang mengalir lambat tipis sekali mengikuti alur keriput di pipi Izrail
Walaupun malaikat, Izrail tak kuasa untuk memenuhi hajat si nenek
Angin kencang menyingkap jubah Izrail
dalam tatapannya yang tajam sesekali melirik daftar nyawa yang akan dicabut

Izrail mengantarkannya pulang sambil menangis
tak sedesirpun bunyi keluar dari mulutnya
Ketika sampai depan rumah
Anak-anaknya tak ada yang melirik
tak ada yang menanyakannya
tak ada yang mencarinya
Dua mobil tiga motor tergeletak di halaman depan
tak ada satupun dipakai untuk mengantarkan ibunya

Manusia dan kepentingannya, apa guna materi
Jika ternyata di dalam lorong yang gelap, seorang ibu meminta untuk disuntik mati
Betapa sunyi, betapa sepi, mata selalu sembab setiap hari
Di atas kasur dari bulu singa, bantal guling dari kulit macan
tetap saja sepi yang dirasakan

Aku membacanya di balik ilalang, ada seorang nenek datang ke puskesmas meminta untuk disuntik mati

Baca juga: Kapitalisme Cinta

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun