Mohon tunggu...
Ahmad Arpan Arpa
Ahmad Arpan Arpa Mohon Tunggu... Freelancer - Filsuf

Alumnus Unindra-Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Writer Enthusias, a ghost writer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sunyi yang Terpuji

18 April 2023   22:15 Diperbarui: 18 April 2023   22:19 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Entah sudah malam yang keberapa ayah dan ibuku berpadu kasih. Kamar pengantin yang harum, meskipun sudah berkali-kali berganti pakaian. Suatu malam Yang Mulia melepaskan bahagianya ke dalam rahim ibu. Dari sinilah aku dan kakak-kakakku bermula mungkin tidak semua jadi hanya beberapa saja untuk mengikuti program pemerintah yang katanya lebih baik punya dua anak. Dua puluh empat jam dan Sembilan bulan kurang sedikit. Aku terjaga. Aku terawat. Aku benih, gabungan dingin dan tropis.

Malam yang hening pecah sesaat terdengar tangisan di salah satu ruang persalinan. Bunga surga yang diharapkan kini menunjukkan kecambahnya di bumi. Aku lahir. Anak perempuan manis dengan rambut pirang sedikit ikal. 

Di Jakarta, 04 November 2000, Elena Lisa Winter. Hanya bermodal kehadiranku saja sudah membuatku sukses karena sudah mewujudkan harapan orangtuaku. Aku anak keempat dari empat bersaudara, hanya aku anak perempuan satu-satunya. Aku bangga. Kakak-kakakku sangat perhatian kepadaku.

Hampir tidak pernah sedikit pun aku tak terpantau oleh mereka. Aku inigin berlari tiba-tiba saja tanganku dipegang oleh salah satu kakakku. Entah kenapa mereka selalu dapat menangkapku setiap aku ingin berlarian di luar rumah. Sehebat-hebatnya pesulap membengkokan garpu, toh aku juga bisa. 

Pada suatu sore aku menjerit sekencang-kencangnya tak sengaja mengambil setrika yang sedang dipanaskan di ruang tamu. Seisi rumah pun bergemuruh mengetahui tak ada yang menjagaku. Ibuku memarahi semua kakakku. Ibuku langsung membawaku ke kamar mandi untuk mengalirkan air ke tanganku yang terasa sangat panas. Aku masih menangis sepanjang malam.

Ayahku bermata biru ia keturunan nelayan. Kakekku adalah perompak yang kalau mabuk tidak pernah sampai tak sadarkan diri. Kalau sedang berlabih kakek menyebut dirinya perampok. Kata kakekku setiap ada temannya yang sampai mabuk pasti akan dikerjain. Ayahku seorang pemabuk berat hampir setiap hari aku melihatnya mabuk di teras rumah bersama temannya, sepi. 

Setiap aku di rumah ayah selalu menyimpan minuman favoritnya, sepertinya ia tidak ingin kalau anak-anaknya sampai menemukannya apalagi sampai meminumnya. Aku tidak pernah melihat ayah merokok di rumah tapi aku pernah melihat ayah merokok di luar rumah ketika ngobrol bersama temannya. Entah apa yang dia pikirkan.

Ayahku sangat mencintai malam, ia terjaga sampai nyaris dini hari. Senang bercengkrama dengan ikan dan pohon palem di depan rumah. Bukan melamun melainkan melukis masa depan diri dan keluarganya. Kanvas terbaik adalah gelap, teman setia adalah malam. Matanya berkedip lebih sering setelah meminum kopi. Suara ibuku beberpa kali memanggilnya, namun ayahku lebih mendengar panggilan angin malam. Angin yang larut dalam semilirannya seolah sedang menyembuhkan luka batinnya.

Ayahku pernah cerita kalau dia selama ini bekerja di pasar menjadi penjual daging. Ayahku tidak pernah memakai dasi apalagi kemeja putih ketika bekerja. Dia lebih sering memakai celana jeans dan kaos oblong saat bekerja. Dengan membawa motor bebek jadulnya yang harus dipanaskan terlebih dulu sebelum digunakan. Pernah sekali ketika kakakku telat masuk sekolah ayahku tidak memanaskannya dan baru jalan keluar gang motornya pun mati. Pergi pagi dan pulang sore, jamnya pun tidak pernah meleset. Rutinitas ayah.  Ayahku memang disiplin.

Alexi Winter, kakak pertamaku yang lahir ketika ayahku berada di kampung halamannya. Arsenio Winter adalah kakak keduaku yang berjarak tiga tahun dari Alexi. Dua tahun berselang lahir kakak ketigaku bernama Dharmendra Deen Winter, ia adalah anak pertama yang dilahirkan secara sesar. Dan, lima tahun berselang lahirlah aku. Anak perempuan paling cantik di keluarga ini.

Aku terlahir di tanah kumuh sebuah perkampungan di pinggiran ibu kota. Sarang pencopet, pemabuk, pembunuh, pemerkosa, penipu. Residivis berkembang subur di tanah ini. Ibuku tak pernah lelah untuk menasihatiku agar berhati-hati dalam memilih teman. "Kamu boleh berbuat baik kepada siapa pun, tetapi ingat untuk berteman kamu harus pilih-pilih" begitulah kalimat yang sering ibu ucapkan setiap aku akan pergi sekolah dan ketika hendak tidur.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun