memohon rahmat
lalu sejarah kita kunyah
menjadi kenyataan, yang
seharusnya terjadi
bukan yang sebenarnya ada
Bapak tua pengayuh becak itu berulang-ulang mengucap istighfar saat aku selesai menceritakan kisahku. Tentang dijualnya aku ke lokalisasi pelacuran oleh seseorang yang berpura-pura mengadopsiku dari panti asuhan, langsung setelah menjemputku dari panti. Tentang -entah bagaimana caranya- aku berhasil lolos dari tindak percobaan perkosaan itu, hingga akhirnya bertemu dengan beliau.
Diusapnya kepalaku dengan wajah prihatin. Matanya menerawang memandang becak yang terparkir dekat pintu.
“Jika kamu mau, Ndhuk, kamu bisa tinggal bersama Bapak. Tapi beginilah tempat tinggal Bapak, Ndhuk, hanya gubuk liar di pinggir kali,” tawar bapak tua pengayuh becak -yang belakangan kuketahui bernama Pak Min- kepadaku, yang tak kujawab selain memeluknya sambil terus sesenggukan.
Esoknya, badai yang menerpa semalam telah banyak reda, menyisakan hangat mentari yang menyembul malu-malu di ufuk Timur. Dan sinar mentari itu terasa kian hangat saat Pak Min mengatakan akan langsung mendaftarkanku di SD sekitar.
“Ga apa-apa kamu dapat kelas siang ya, Ndhuk, karena kelas pagi tak ada bangku kosong,” terang Pak Min, membuat mataku agak buram sebab beliau yang bukan siapa-siapaku ini, begitu mmperhatikanku layaknya cucu beliau sendiri.