Membangun Keberanian Akademik: Lebih Berani Sendiri atau Kolaborasi?
Oleh: A. Rusdiana
Semester Ganjil Tahun Akademik 2025/2026 menjadi momentum baru bagi dunia akademik. Di Program Studi Manajemen Pendidikan Islam (MPI), berbagai mata kuliah seperti Metode Penelitian di S1, serta Manajemen Sumber Daya Pendidikan dan Sistem Informasi Manajemen Pendidikan di S2, diarahkan pada pentingnya riset mini dan pengabdian kepada lembaga pendidikan Secara kolaboratif.
Pada perkuliahan Part 5 Sistem Informasi Manajemen Pendidikan (10 Oktober 2025), mahasiswa diarahkan membuat laporan kinerja berbasis LMS. Namun, dari hasil observasi, waktu presentasi ideal sekitar dua menit per mahasiswa belum tercapai. Fenomena ini menandakan masih lemahnya kolaborasi antarkelompok dan kurangnya kontrol ketua kelompok serta kosma, meskipun otoritas sudah diberikan sepenuhnya.
Padahal, setiap ketua kelompok diharapkan mampu memonitor kinerja anggota kelompok, sementara kosma dan PJ kelas bertugas memantau keseluruhan dinamika kelas dengan dukungan empat asisten muda lulusan S2 yang tergabung dalam Techin Team Semester Ganjil 2025/2026. dan dua Dosen tamu Profesiaonal yang kesemuanya bisa dimanfaatkan setiap saat.
Secara teoretik, pembangunan keberanian akademik dapat dipahami melalui pandangan Vygotsky tentang social learning, bahwa belajar adalah proses sosial di mana pengetahuan dibentuk melalui interaksi. Wenger (1998) menambahkan konsep community of practice kolaborasi yang menghasilkan kompetensi kolektif. Sementara itu, Job Demand-Resources Theory menjelaskan bahwa keterlibatan kerja (work engagement) meningkat ketika seseorang memiliki dukungan sosial yang kuat.
Namun, gap masih terlihat jelas: dosen kerap memberi tugas individu, tetapi abai pada praktik riset kolaboratif lintas strata. Ironisnya, dosen yang enggan menulis dan meneliti secara kolaboratif justru menjadi contoh pasif bagi mahasiswa. Padahal, di era kolaborasi, keberanian akademik tidak lahir dari otoritas tunggal, melainkan dari keberanian bersama untuk belajar, meneliti, dan berbagi gagasan.
Tulisan ini bertujuan untuk menegaskan pentingnya kolaborasi sebagai sumber keberanian akademik dan sebagai sarana inovasi dalam membangun SDM unggul menuju Indonesia Emas 2045. Berikut Lima Pilar Pembelajaran dari Kolaborasi Membangun Keberanian Akademik:Â
Pertam: Kolaborasi Melatih Keberanian Berpendapat; Dalam tim, setiap ide diuji bersama. Mahasiswa belajar bahwa gagasan yang berbeda bukan ancaman, melainkan peluang untuk memperluas cara berpikir. Keberanian mengemukakan pendapat tumbuh ketika suasana diskusi aman dan penuh saling hormat. Ketua kelompok berfungsi sebagai fasilitator yang menyeimbangkan dinamika, bukan penguasa yang mendominasi.
Kedua: Kolaborasi Menumbuhkan Tanggung Jawab Kolektif; Tanggung jawab akademik tidak berhenti pada individu. Dalam kelompok, setiap anggota harus sadar bahwa kualitas laporan, riset, dan presentasi mencerminkan kerja bersama. Ketika satu anggota lalai, seluruh kelompok terkena dampaknya. Di sinilah nilai tanggung jawab sosial dan akademik dipraktikkan secara konkret.
Ketiga: Kolaborasi Menguatkan Literasi Digital dan Komunikasi Ilmiah; Melalui tugas di LMS, mahasiswa belajar mengelola informasi, berbagi file, dan berkoordinasi daring. Penggunaan media digital seperti Kompasiana, portal berita pendidikan, dan CK (Catatan Kuliah) menjadi wadah latihan publikasi ilmiah populer. Literasi digital ini memperluas jangkauan gagasan dan membangun branding akademik personal maupun institusional.
Keempat: Kolaborasi Mengasah Empati dan Kepemimpinan Tanpa Otoritas; Dalam kelompok heterogen, mahasiswa belajar memahami ritme kerja, karakter, dan gaya komunikasi teman-temannya. Pemimpin sejati bukan yang paling pandai, melainkan yang mampu mendengar dan memotivasi. Inilah leadership without authority soft skill global yang sangat dibutuhkan di dunia kerja masa depan.
Kelima: Kolaborasi sebagai Sumber Inovasi Akademik; Ide-ide inovatif jarang muncul dalam isolasi. Kolaborasi membuka ruang bagi integrasi lintas disiplin dan lintas strata antara S1, S2, dosen, dan tutor muda. Melalui praktik riset mini dan pengabdian bersama, mahasiswa tidak hanya belajar menulis, tetapi juga menciptakan solusi nyata bagi lembaga pendidikan Islam. Inilah bentuk konkret community of practice yang menggerakkan inovasi akademik berkelanjutan.
Keberanian akademik bukan sekadar kemampuan berbicara di depan kelas, tetapi keberanian untuk belajar bersama, mengkritisi gagasan, dan berinovasi dalam suasana saling percaya. Kolaborasi menjadi sarana melatih growth mindset dan tanggung jawab sosial akademik. Bagi para pemangku kepentingan pendidikan, penting untuk: 1) Mendorong dosen memberi porsi lebih besar pada tugas kolaboratif; 2) Menyiapkan sistem evaluasi yang menilai kontribusi individu dalam tim; 3) Memberikan pelatihan soft skills global empati, komunikasi, dan kepemimpinan kolaboratif secara berkelanjutan.
Dengan demikian, kolaborasi bukan sekadar strategi belajar, tetapi fondasi pembentukan karakter akademik menuju SDM unggul.
Ketika keberanian akademik tumbuh dari kolaborasi, kampus bukan lagi sekadar ruang belajar, melainkan laboratorium nilai. Dari sana, mahasiswa belajar bahwa kemajuan bukan ditentukan oleh siapa yang paling pintar, tetapi siapa yang paling mau belajar bersama. Wallahu A'lam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI