Mengapa Adaptasi Digital Lebih Penting dari Sekadar Menguasai Teknologi?
Oleh: A. Rusdiana
Semester Ganjil Tahun Akademik 2025/2026 menjadi momentum baru bagi dunia akademik. Di Program Studi Manajemen Pendidikan Islam (MPI), berbagai mata kuliah seperti Metode Penelitian (S1), Manajemen Sumber Daya Pendidikan, dan Sistem Informasi Manajemen Pendidikan (S2) diarahkan pada praktik riset mini dan pengabdian kepada lembaga pendidikan Islam.
Hari ini, Jumat 10 Oktober 2025, perkuliahan sesi kelima membahas Sistem Informasi Manajemen Kesiswaan. Mahasiswa diminta mengunggah laporan kinerja, artikel esai kedua, serta publikasi ke berbagai media (LMS, Berita Disdik, dan Kompasiana). Namun dari hasil observasi, waktu presentasi per mahasiswa belum ideal rata-rata dua menit di Kls III/D Matkul SIM-P, maupun di Kls I/E Matkul MSDM-P, hal ini menandakan masih masih lemahnya koordinasi dan kolaborasi lintas kelompok.
Padahal, sistem digital sudah disediakan sepenuhnya. Ketua kelompok, kosma, dan PJ kelas telah diberi otoritas untuk mengoordinasi. Namun teknologi tanpa etika kolaborasi hanya menghasilkan unggahan, bukan pembelajaran. Fenomena ini memperlihatkan urgensi adaptasi digital dan literasi kolaboratif sebagai inti dari soft skills global di era kampus digital.
Adaptasi digital dan literasi kolaboratif berakar pada teori Job Demand--Job Resources (JD-R), yang menekankan pentingnya sumber daya sosial komunikasi, dukungan rekan, dan penguasaan teknologi untuk menciptakan work engagement. Wenger (1998) melalui konsep community of practice menegaskan bahwa komunitas belajar digital terbentuk saat individu berinteraksi, berbagi praktik, dan berinovasi bersama. Sementara itu, Vygotsky (1978) dalam teori social learning menjelaskan bahwa pengetahuan tumbuh melalui kolaborasi sosial, bukan sekadar instruksi individual. Prinsip ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW: "Apabila suatu pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya." (HR. Bukhari). Maka, adaptasi digital bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi kebijaksanaan sosial.
Masih banyak dosen yang mengandalkan tugas daring tanpa membangun interaksi reflektif. Mahasiswa hanya mengunggah, bukan berdialog; dosen menilai, bukan membimbing. Padahal dunia digital menuntut etika partisipatif dan kepemimpinan kolaboratif. Tulisan ini bertujuan menegaskan pentingnya eksplorasi adaptasi digital dan literasi kolaboratif sebagai pondasi soft skills global menuju generasi akademik berdaya saing, beretika, dan berkontribusi untuk Indonesia Emas 2045. Berikut, Lima Pilar Pembelajaran dari Adaptasi Digital dan Literasi Kolaboratif:Â
Pertama: Dari Penguasaan Teknologi ke Adaptasi Sosial; Banyak mahasiswa dan dosen sudah "melek teknologi", tetapi belum "melek kolaborasi". Adaptasi digital bukan sekadar menguasai aplikasi, melainkan menyesuaikan perilaku akademik terhadap norma ruang maya: menghargai waktu, menjaga sopan santun komunikasi, dan menghormati karya orang lain. Tanpa adaptasi sosial, digitalisasi hanya menjadi formalitas.
Kedua: Literasi Kolaboratif: Dari Individu ke Komunitas; Literasi kolaboratif mengajarkan bahwa setiap unggahan adalah kontribusi, bukan sekadar kewajiban. Ketika mahasiswa bekerja dalam kelompok lintas kelas membuat poster, catatan kuliah, dan artikel media mereka belajar menulis dengan tanggung jawab sosial. Inilah wujud digital citizenship di lingkungan akademik: mengolah informasi dengan integritas dan berbagi pengetahuan untuk kemajuan bersama.