Mohon tunggu...
Ahmad Rusdiana
Ahmad Rusdiana Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan, Penulis, Peneliti, Pengabdi, Pendiri/Pembina YSDPAl-Misbah Cipadung Bandung-Pendiri Pembina Yayasan Tresna Bhakti Cinyasag-Panawangan-Ciamis Jawa Barat. Peraih Kontributor Terpopuler Tahun 2024 di Repositori UIN Bandung

"Kompasiana Best Fiction Award Explorer" 22/1/2025

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Litersi Kritis Sebagai Modal Sosial: Jalan Kepemimpinan atau Sekedar Rutinitas?

24 September 2025   23:55 Diperbarui: 24 September 2025   23:55 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Doc. Perkuliahan Pertemuan Minggu ke-4, Metris MP vs SIM Pendidikan  Rabu, 24 September 2025 Jam Ke-4 14.20-18.00 (dimodifikasi)

Literasi Kritis sebagai Modal Sosial; Jalan Kepemimpinan atau Sekadar Rutinitas?

Oleh: A. Rusdiana

Semester Ganjil tahun akademik 2025/2026 telah dimulai pada 1 September dan akan berakhir 19 Desember 2025. Di tingkat S1, perkuliahan sudah berjalan dua kali, sementara di S2 Pendidikan dan Sistem Informasi Manajemen Pendidikan, jadwal harus dijalankan paralel karena adanya crossing di mata kuliah Metode Penelitian. Kondisi ini membuat mahasiswa kesulitan menyatukan visi, terutama ketika dituntut menghasilkan esai dari materi kuliah yang padat.

Fenomena ini mencerminkan tingginya job demand dalam dunia akademik. Mahasiswa harus mengelola tugas kompleks yang membutuhkan keterampilan menulis, berdialog, dan berpikir kritis. Namun, tanpa job resources berupa bimbingan dosen, komunitas belajar, dan budaya literasi, keterikatan akademik (work engagement) bisa melemah. Wenger (1998) melalui konsep community of practice menegaskan bahwa belajar sejatinya terjadi dalam komunitas kolaboratif, sementara Vygotsky menekankan social learning sebagai jalan lahirnya keterampilan sosial.

Sayangnya, gap masih terasa. Banyak dosen enggan mengajar di jam ke-nol dengan alasan "mind match", sementara mahasiswa tetap dibebani tugas. Di titik ini, literasi kritis sering direduksi hanya sebagai rutinitas akademik. Padahal, ia seharusnya menjadi jalan kepemimpinan intelektual, membekali mahasiswa dengan kemampuan komunikasi, pengelolaan ego, serta kepekaan sosial. Nabi bersabda: "Mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka lebih baik daripada yang tidak bergaul." (HR. Tirmidzi).

Tulisan ini menguraikan lima pilar literasi kritis sebagai modal sosial untuk membentuk kepemimpinan, bukan sekadar rutinitas. Berikut, Lima Pilar Literasi Kritis sebagai Modal Sosial:

Pertama: Literasi sebagai Alat Pikir Jernih; Esai dan tugas kuliah bukan sekadar formalitas, melainkan sarana melatih kejernihan berpikir. Mahasiswa belajar memilah data, menghubungkan teori, serta menyusun argumen. Inilah dasar kepemimpinan intelektual: mampu berpikir sistematis sebelum mengambil keputusan.

Kedua: Literasi sebagai Jembatan Dialog Sosial; Kebiasaan berdialog menumbuhkan keterampilan komunikasi. Mahasiswa yang terbiasa memberi masukan dan menerima kritik akan lebih siap memimpin dalam masyarakat multikultural. Literasi kritis di sini berfungsi sebagai modal sosial untuk mengelola perbedaan tanpa kehilangan integritas.

Ketiga: Literasi sebagai Disiplin Kolektif; Menulis dan berdialog melatih disiplin, karena karya akan diuji di ruang publik kelas. Kesadaran bahwa tulisan akan dibaca teman memacu kualitas. Disiplin kolektif ini adalah fondasi kepemimpinan: seorang pemimpin harus konsisten dalam tindakan, bukan sekadar mengandalkan karisma.

Keempat: Literasi sebagai Pengelola Ego; Kritik kerap menyentuh ego, tetapi melalui literasi kritis, mahasiswa belajar memilah masukan dan memperbaiki karya. QS. Ali Imran [3]:159 menekankan pentingnya kelembutan dalam memimpin. Seorang pemimpin intelektual harus matang secara emosional, bukan reaktif dalam menghadapi kritik.

Kelima: Literasi sebagai Basis Solidaritas Akademik; Literasi kritis membentuk solidaritas ketika mahasiswa saling membaca, berbagi referensi, dan memberi masukan. Mereka tidak lagi bekerja sendiri, tetapi menumbuhkan kepemimpinan kolektif. Solidaritas ini menjadi modal sosial penting dalam membangun jaringan akademik maupun profesional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun