Deep Learning Atau Pembelajarn Mendalam Tidak Penting. Begitulah seorang kawan guru mengatakannya dalam semnas. Omjay kaget mendengarnya.Â
Kita baru saja belajar Dari Deep Learning ke Pembelajaran Mendalam. Inilah Potret "Copy Paste" Pendidikan Indonesia yang Tak Pernah Usai.Â
Begitulah kisah Omjay atau Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd di kompasiana tercinta. Omjay Guru Blogger Indonesia, dan sekjen Ikatan Guru Informtika PGRI.
Nilai Ilmiah yang Sering Terabaikan
Dalam dunia ilmiah, ada empat pilar yang menjadi fondasi: keaslian, kejujuran, keterbukaan, dan kesadaran intelektual tingkat tinggi. Keempatnya adalah benteng yang menjaga agar ilmu berkembang secara sehat, jujur, dan bermanfaat. Tanpa itu semua, pendidikan hanya akan menjadi etalase penuh barang tiruan. Terlihat tampak mewah dari luar, tetapi rapuh di dalam.
Sayangnya, dalam sejarah kebijakan pendidikan kita, sering kali keempat pilar itu tergeser oleh keinginan untuk "terlihat modern" atau "ikut tren global". Bukan berarti belajar dari luar negeri itu salah. Justru kita harus banyak belajar. Namun yang menjadi persoalan adalah ketika kita mengadopsi sebuah konsep tanpa memahami akar, makna, dan konteks lahirnya.
Kasus Deep Learning: Dari Tren ke Teguran
Mari kita tengok kasus "deep learning" yang sempat heboh. Awalnya, istilah ini masuk ke Indonesia bak tamu kehormatan. Seminar-seminar guru, pelatihan pendidikan, hingga dokumen kebijakan menggunakan kata ini dengan penuh percaya diri.Â
Seakan-akan, dengan memasukkan kata "deep learning" ke dalam modul atau presentasi, maka metode mengajar kita akan otomatis melesat ke kelas dunia. Seolah terlihat modern padahal kuno alias jadul.
Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Dunia akademik internasional, khususnya di bidang kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) telah memberikan reaksi keras.Â