Siklus Reflektif dan Feedback: Magang Intelektual atau Sekadar Tugas Kuliah?
Olah: A. Rusdiana
Semester Ganjil 2025/2026 dimulai 1 September hingga 19 Desember 2025. Pada perkuliahan S1, sudah berlangsung dua kali pertemuan, sementara di S2 Pendidikan khususnya mata kuliah Metode Penelitian dan Sistem Informasi Manajemen Pendidikan jadwal berjalan paralel akibat krosing jadwal mengajar. Salah satu tantangan yang muncul adalah bagaimana menyatukan visi mahasiswa untuk menulis esai berbasis materi kuliah. Fenomena klasik muncul: banyak mahasiswa masih enggan menulis. Bahkan, dosen pun terkadang tidak menjadi teladan yang baik. Pertanyaan reflektifnya: apakah tugas menulis hanya sekadar "mind match" antara dosen dan mahasiswa, atau bisa ditingkatkan menjadi sarana magang intelektual yang bermakna?
Teori Job Demands and Job Resources (Bakker & Demerouti) menekankan pentingnya dukungan, tantangan, dan umpan balik dalam membangun work engagement. Wenger (1998) dengan community of practice menyebutkan bahwa pembelajaran lahir dari praktik sosial, sementara Vygotsky menekankan social learning melalui interaksi antarindividu. Dengan kata lain, siklus reflektif dan feedback menjadi inti dari pembelajaran kolaboratif.
Sayangnya, kesenjangan masih terjadi. Banyak mahasiswa yang malas menulis, bahkan dosennya lebih parah. Kalau tugas menulis diposisikan hanya sebagai "kewajiban formal", maka tidak akan lahir kreativitas dan refleksi kritis. Tulisan ini bertujuan menguraikan pentingnya siklus reflektif dan feedback dalam pembelajaran, serta mengaitkannya dengan praktik menulis di platform publik seperti Kompasiana. Bahkan, menulis di sana dengan bimbingan editor bisa dianggap sebagai pengalaman magang intelektual. Berikut, Lima Pilar Pembelajaran dari Siklus Reflektif dan Feedback:
Pertama: Menulis sebagai Praktik Refleksi; Setiap esai yang ditulis mahasiswa bukan hanya ringkasan materi kuliah, tetapi juga hasil pemikiran kritis. Saat dipublikasikan di Kompasiana atau portal pendidikan lain, tulisan menjadi sarana refleksi diri dan kontribusi sosial.
Kedua: Feedback sebagai Umpan Balik Konstruktif; Mahasiswa memberi komentar pada karya teman, membangun budaya kritik yang sehat. Proses ini meningkatkan standar akademik karena ada dialog, bukan sekadar penilaian sepihak dari dosen.
Ketiga: Publikasi sebagai Magang Intelektual; Menulis di Kompasiana plus editor tidak berbeda jauh dengan magang jurnalistik atau akademik. Mahasiswa belajar disiplin, menghadapi kritik publik, dan memahami etika publikasi. Inilah hidden curriculum yang jarang disadari.
Keempat: Komunitas Belajar yang Terbentuk; Melalui siklus reflektif, mahasiswa tidak hanya bekerja sendiri, tetapi membentuk community of practice. Diskusi antarpenulis, respon pembaca, dan interaksi dengan editor menjadi modal sosial yang memperkaya pembelajaran.
Kelima: Peningkatan Literasi Kritis dan Sosial; Kebiasaan menulis dan memberi feedback menumbuhkan literasi kritis. Mahasiswa belajar menyampaikan argumen dengan data, menanggapi perbedaan pandangan dengan dewasa, serta mengelola emosi ketika mendapat kritik tajam.