Definsi
Planologi atau dikenal juga sebagai Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK), adalah ilmu yang mempelajari bagaimana merencanakan dan menata ruang wilayah dan kota agar lebih efektif, efisien dan berkelanjutan. Ini melibatkan pertimbangan berbagai aspek, termasuk sosial, ekonomi, lingkungan dan politik, untuk menciptakan lingkungan perkotaan yang nyaman dan fungsional.
Planologi adalah ilmu yang penting untuk menciptakan lingkungan perkotaan dan wilayah yang berkelanjutan dan berkualitas. Para perencana wilayah dan kota memiliki peran kunci dalam merencanakan dan mengelola pembangunan serta mengatasi berbagai tantangan perkotaan.
Kosmologi adalah ilmu yang mempelajari alam semesta secara keseluruhan, termasuk asal-usul, struktur, evolusi dan nasib masa depan alam semesta akhirnya. Dalam arti luas, kosmologi mencakup studi tentang alam semesta sebagai sistem teratur serta membahas aspek-aspek seperti asal-usul, mekanisme penciptaan, kekekalan, hukum alam, ruang dan waktu. Mulai dari materi dan energi penyusun alam semesta hingga fenomena skala besar, seperti pembentukan galaksi dan struktur alam semesta.
Kosmologi juga berkaitan dengan bidang ilmu lain seperti fisika, astronomi dan filsafat. Dalam kosmologi, ada hubungan antara teori dan eksperimen serta berbagai teori tentang bagaimana alam semesta dimulai, dengan teori Big Bang yang paling banyak diterima.
Selain itu, ada juga kosmologi dalam konteks agama dan budaya. Misalnya, kosmologi Islam membahas asal-usul alam semesta berdasarkan Al-Quran dan hadis, sedangkan kosmologi Jawa membahas hubungan manusia dengan alam semesta dan kekuatan supranatural.
Kosmologi ibukota Kerajaan Majapahit, yang diyakini terletak di Trowulan, Jawa Timur, tercermin dalam tata letak kota dan arsitektur bangunan yang menunjukkan konsep kosmologi Hindu-Buddha. Konsep ini terlihat dari orientasi bangunan, pembagian ruang dan simbolisme yang terdapat pada situs-situs arkeologi.
Filosofi atau filsafat dalam bahasa Indonesia, adalah kajian tentang pertanyaan mendasar dan umum mengenai eksistensi, pengetahuan, nilai, akal dan bahasa. Secara harfiah, filosofi berarti "cinta akan kebijaksanaan". Dalam konteks lebih luas, filosofi mencakup upaya untuk memahami dunia dan kehidupan secara menyeluruh serta membentuk cara berpikir yang kritis, reflektif dan sistematis.
Secara keseluruhan, filosofi bukan hanya sebuah disiplin ilmu, tetapi juga sebuah cara berpikir dan menjalani hidup yang dapat membawa seseorang pada pemahaman yang lebih mendalam tentang dunia dan dirinya sendiri.
Simbolisasi adalah proses memberikan makna atau arti tertentu pada suatu simbol, baik itu berupa benda, tanda atau lambang, yang mewakili sesuatu yang lebih luas atau abstrak. Dalam konteks peta, simbolisasi mengacu pada penggunaan simbol-simbol visual untuk mewakili berbagai elemen geografis dan informasi lainnya pada peta.
Tata Letak Kota dan Konsep Kosmologi
Orientasi
Tata letak kota Majapahit, khususnya di Trowulan, seringkali berorientasi pada arah mata angin dan gunung, yang dalam kosmologi Hindu-Buddha melambangkan Gunung Semeru sebagai pusat alam semesta.
Pembagian Ruang
Kota Majapahit terbagi menjadi beberapa zona, mulai dari pusat pemerintahan (keraton), pemukiman, hingga daerah perdagangan. Setiap zona memiliki fungsi dan makna tersendiri dalam kosmologi kerajaan.
Simbolisme
Bangunan-bangunan seperti candi, gapura dan kolam memiliki simbolisme khusus yang merepresentasikan konsep-konsep kosmologi seperti kesucian, keseimbangan dan hubungan antara dunia manusia dengan dunia dewa.
Kakawin Negarakertagama (ditulis oleh Mpu Prapaca tahun 1365 Masehi) semasa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit menjelaskan, bahwa Istana Kerajaan Majapahit (Kedaton) berada di sebelah Selatan Mangutur, Lbuh Agung di sebelah Barat Pomahan berada di sebelah Tenggara, Sthana Buddha, Siwa dan Wipra di sebelah Timur dan lain-lain.
Deskripsi ibukota Majapahit sangat rinci dan bernilai sejarah tinggi. Kitab ini menjelaskan letak-letak kawasan penting di sekitar Kedaton (istana raja) dalam struktur kosmologis dan administratif, berikut lanjutan keterangan penting lainnya.
Berikut adalah kutipan isi Kakawin Ngaraktgama Pupuh 8 sampai dengan Pupuh 13 dalam Bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan terjemahan bebasnya dalam Bahasa Indonesia.
Pupuh 8 -- Kakawin Ngaraktgama (tentang Kota Majapahit: tata ruang dan bangunan suci)
Ipun ta r nagara ring Madhura, r wijaya nma ira bhuvana
Dudu ira ri rat, tan pamaaln, wruh ta sang stra sakalaning dea
Ngaraktgama suddha bujana, ratnkara ring janma wilapa
Purwa ring dharma tan hanan dos, ring dharmaning bhrat dea
Terjemahan bebas:
Negeri suci yang berada di tanah Madura bernama r Wijaya, seperti kepala dunia. Bukan kepala secara harfiah, melainkan pusat kehidupan yang dikenali para ahli sastra seluruh negeri. Kakawin ini menuturkan kemurnian negeri, penuh kebijaksanaan, bagaikan lautan permata manusia bijak. Tidak ada pelanggaran terhadap dharma, seperti negeri India dalam cerita.
Pupuh 9 -- Tata ruang dan bangunan di kota Majapahit
Ka ring r nagara mapan rakwa, wsi ring uddha bujana tan hana
Wikiran lawan sang amtya wddha, sarwatnya shita dya tan hana
Sakika ring rat tirah ring r nagara, mapan sang paramartha taya loka
Tan hana sahananing duka kapwa, swargga pwa rakwa tan hana lawanya
Terjemahan bebas:
Ibu kota berada di tempat suci dan damai, dihuni para bijak yang tak tercemar. Para menteri yang bijaksana tampak memukau, semuanya hadir tanpa cela. Segala yang dari luar tak mampu mengusik kota ini, karena keutamaan luhur telah mengakar. Tak tampak penderitaan, segalanya bagaikan surga, tiada bandingan di dunia.
Pupuh 10 -- Pembagian lingkungan kota
Ring kidul Manguntur mapan kadatwan, r rjasakaya mangke kottama
Lwih ring jro kapwa aneng kabuyutan, mangun r mahrja uddha dharma
Wihan kapwa drga ri dea madhya, kapwa pakrta sang mahrja
Iya sang hyang Agastya ring pura, sang iwa-Buddha makrama
Terjemahan bebas:
Di sebelah Selatan Manguntur berdiri keraton, tempat sang raja utama bersemayam. Di bagian dalam terdapat tempat suci leluhur, didirikan oleh raja agung, suci dalam dharma. Terdapat wihara dan pura di tengah kota, semua dibangun atas kehendak raja. Juga ada pura untuk Sang Hyang Agastya dan asrama bagi para penganut iwa-Buddha.
Pupuh 11 -- Kompleks suci dan pertapaan
Ring wetan sang hyang iwa ri sthna, wihra sang Sugata ri wnua
Ring lulut Sstra ring Bhujangga Wipra, sang bhiku kapwa maparah hyang dharma
Paka dwi dharma tan hana saling, sdhaka taya lawan tan gla
Rme stra uddha ring janmaning rat, marwahya sang ratu winuruk arya
Terjemahan bebas:
Di Timur berdiri tempat suci bagi Sang Hyang iwa dan wihara untuk Sang Buddha di desa. Para pendeta dan bhiksu mempelajari kitab suci dengan khusyuk, semua menempuh jalan dharma. Kedua mazhab hidup berdampingan tanpa bersaing, para suci saling menghormati. Ilmu dan kitab suci berkembang luas, karena sang raja bijak mendidik rakyatnya.
Pupuh 12 -- Kehidupan masyarakat Majapahit
Ring mangetan pura sang mahrja, prsda ginaw mring r Krtarjasa
Kinarya winara sang hyang dharma, sang hyang siwapduka sang mokarttha
Ring purwaning rat hana sang arya, sang nayaka dharmma ring pamudita
Janma bhmi uddha taya ppa, tan hana pakaraa winatwaning rat
Terjemahan bebas:
Di sebelah Timur keraton berdiri bangunan agung, didirikan untuk r Kertarjasa. Dibangun sebagai penghormatan kepada dharma, tempat bagi leluhur yang telah moksha. Di seluruh negeri ada para arya (bangsawan) yang menjadi pemimpin bijaksana. Rakyat hidup dalam kesucian tanpa dosa, tidak ada tindak kejahatan yang merusak negeri.
Pupuh 13 -- Keselarasan antara raja dan rakyat
Kapwa ktrtha ring janma r nagara, tan hana kraa para jananta
Nora mangkana ntha tan ananta, sang mahrja ring r wijaya
Samya pinakarya ring uddha dharma, kapwa kamrt sang jna mahardhika
r nagara pwa swargga ring rat, sang nata laksana Indra sakt
Terjemahan bebas:
Semua orang di negeri ini hidup dalam kecukupan, tak seorang pun merasa kekurangan. Tak seperti di tempat lain, di sini raja tak pernah lalai, selalu mengayomi. Raja memimpin dengan landasan dharma, menjadi perwujudan kebijaksanaan tertinggi. Negeri ini adalah surga di dunia, sang raja seperti Indra yang nyata.
Letak Kawasan Strategis di sekitar Kedaton Majapahit (berdasarkan Kakawin Ngaraktgama Pupuh 8--13)
Kedaton (istana raja)
- Terletak di sebelah Selatan Manguntur (balai tempat pertemuan/rapat agung).
Manguntur
- Bangunan balai agung tempat raja duduk menerima laporan dan mengatur negara.
- Letaknya di sebelah Utara Kedaton.
Lbuh Agung
- Pelabuhan/kawasan air agung (labuhan), mungkin kanal besar atau dermaga sungai dalam kota.
- Berada di sebelah Barat Kedaton.
Pomahan
- Kawasan tempat para juru masak atau dapur besar kerajaan.
- Terletak di sebelah Tenggara Kedaton.
Sthna Buddha, iwa dan Wipra
- Kompleks suci dan pusat pemujaan (tiga agama utama: Buddha, Siwa dan kaum Brahmana).
- Terletak di sebelah Timur Kedaton.
Dharmasl
- Tempat tinggal atau pesanggrahan para pendeta (residen kaum spiritual, termasuk Wipra).
- Berada di sekitar Sthana Buddha-iwa.
Wanakretabhmi
- Kawasan hutan dan kebun kerajaan (taman kerajaan).
- Digunakan untuk pertapaan, rekreasi dan pendidikan spiritual.
Balekambang
- Kolam istana besar atau tempat pemujaan air, bisa disamakan dengan Tamansari zaman Mataram.
- Menjadi pusat meditasi dan pelestarian lingkungan.
Candi dan punden
- Di sekitar ibu kota terdapat banyak candi pemujaan leluhur seperti:
- Candi Palah (Penataran), tempat pemujaan raja-raja terdahulu.
- Candi Simping (tempat abu Sri Rjasa, leluhur Hayam Wuruk).
- Candi Bhayalango, Candi Jawi dan lainnya.
Kawasan "Kraton Dalam" dan "Kraton Luar"
- Kraton Dalam (pusat raja, keluarga, dayang, abdi dalem inti).
- Kraton Luar (pejabat, panglima, penulis, seniman, pengrajin, utusan).
- Dipisahkan oleh tembok tinggi dan gapura paduraksa.
Gapura Waringin Lawang
- Gapura megah di Trowulan, dianggap sebagai gerbang utama istana Majapahit.
- Lambang kekuasaan dan keagungan.
Kerajaan Majapahit (ibukota: Trowulan)
Lokasi: Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.Â
Ibu kota Majapahit diperkirakan mencakup area seluas 99 kilometer persegi, meliputi 51 desa di Kabupaten Mojokerto dan Jombang.
Batas Wilayah:
Batas-batas kawasan ibu kota, yang dikenal sebagai Wilwatikta, ditandai dengan adanya yoni di empat sudut.
Infrastruktur Modern:
Trowulan pada masa Majapahit dianggap sebagai kota modern dengan berbagai peninggalan arkeologis yang mendukungnya.
Tata Kota:
- Pusat pemerintahan berada di kompleks istana (keraton), dikelilingi tembok dan parit.
- Terdapat jalan-jalan bata merah lurus membentuk grid.
- Area permukiman bangsawan di sekitar keraton.
- Candi, pemandian dan bangunan suci tersebar, seperti Candi Tikus dan Candi Brahu.
- Taman kerajaan dan kolam sebagai simbol kesuburan.
- Dibagi dalam kawasan agung (pusat), madya (penyangga) dan nista (pinggiran).
Istilah Tata Kota:
- Kraton / Karaton: pusat pemerintahan raja.
- Pura: bangunan suci atau istana dalam makna spiritual.
- Paduraksa: gapura agung menuju kawasan suci.
- Bale Agung: balai sidang pejabat tinggi.
- Candi: bangunan suci atau pemakaman raja.
- Situs pusat disebut Wengker (daerah kekuasaan raja).
- Wanua: desa atau permukiman di luar pusat kota.
- Talaga dan Banyu: sistem air kolam dan kanal kota.
Bahasa lokal: Kawi/Jawa Kuna.
 Sumbu Tata Kota Majapahit
Menggunakan sistem kosmologi berbasis orientasi ruang dan agama:
- Utara: Pemerintahan dan balai agung (Manguntur).
- Selatan: Kedaton raja (pusat dunia).
- Timur: Kawasan spiritual dan tempat para pendeta.
- Barat: Kawasan logistik dan perdagangan (Lbuh Agung).
- Tengah: Ruang raja sebagai poros kosmis.
Berikut ini adalah deskripsi tata letak atau tata kota dari berbagai ibu kota kerajaan dan kesultanan besar di tanah Jawa berdasarkan sumber sejarah, arkeologi dan tata budaya tradisional Jawa:
Tata letak atau tata kota dalam istilah bahasa aslinya (bahasa lokal) ibukota Kasultanan Demak Bintara, Kasultanan Mataram Islam, Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kadipaten Mangkunegaran, Kadipaten Pakualaman, Kasultanan Kasepuhan Cirebon, Kasultanan Kanoman Cirebon dan Kasultanan Banten serta Kerajaan Sumedang Larang, disarikan dari terminologi Bahasa Kawi, Jawa Kuna, Jawa Baru dan Sunda, sesuai periode dan wilayah kerajaan:
Kasultanan Demak Bintara (ibukota: Bintara)
Lokasi: Sekitar aliran Kali Wulan (Demak sekarang).
Tata Kota:
- Masjid Agung Demak sebagai pusat spiritual dan simbol kekuasaan.
- Keraton Demak dekat dengan masjid, pusat pemerintahan dan simbol raja.
- Pelabuhan niaga dan pangkalan militer dekat pesisir (mengingat Demak adalah kekuatan maritim).
- Pasar dan permukiman rakyat terletak di sekitar masjid dan sungai.
Istilah Tata Kota:
- Kraton: pusat kekuasaan sultan.
- Masjid Gedhe: pusat spiritual Islam.
- Alun-alun: lapangan rakyat dan upacara.
- Pasar: pusat perdagangan rakyat.
- Pelabuhan: disebut Pelabuhan Demak atau Labuhan.
- Dalem Agung: kediaman para pembesar.
- Kauman: kampung ulama dan santri.
- Bahasa lokal: Jawa Pesisiran Tengah.
Kosmologi ibu kota Kesultanan Mataram Islam didasarkan pada konsep kosmologi Jawa, yang menghubungkan tatanan dunia dengan tatanan sosial dan politik kerajaan. Ibu kota Mataram, terutama pada masa awal seperti Kotagede dan Kerto serta kemudian Kartasura dan Surakarta, dibangun dengan prinsip-prinsip kosmologis ini.
Prinsip Dasar Kosmologi Jawa dalam Tata Kota Mataram
Keselarasan Mikrokosmos dan Makrokosmos
Konsep ini menekankan hubungan harmonis antara dunia kecil (manusia dan lingkungannya) dengan dunia besar (alam semesta). Tata kota Mataram merefleksikan prinsip ini dengan menempatkan elemen-elemen penting seperti keraton, alun-alun, masjid dan pasar dalam suatu keselarasan spasial.
Catur Gatra
Elemen-elemen dasar tata kota yang terdiri dari keraton (pusat pemerintahan), alun-alun, pasar dan masjid, semuanya memiliki posisi dan fungsi yang saling terkait dalam kerangka kosmologis.
Mancapat dan Mancalim:
Konsep ini berkaitan dengan pembagian ruang dan orientasi dalam tata kota, seringkali berdasarkan empat penjuru mata angin (mancapat) dan lima unsur (mancalima).
Orientasi:
Orientasi bangunan dan tata ruang seringkali mengacu pada poros Utara-Selatan dan Timur-Barat, yang memiliki makna simbolis dalam kosmologi Jawa.Â
Contoh Penerapan dalam Ibu Kota Mataram
Kotagede
Sebagai ibu kota awal, Kotagede memiliki tata letak yang mencerminkan prinsip kosmologis Jawa, dengan masjid sebagai pusat spiritual dan pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi.
Kerta dan Plered
Meskipun tidak banyak informasi spesifik yang tersedia, kedua ibu kota ini juga diperkirakan mengikuti prinsip-prinsip kosmologis Jawa dalam penataan ruangnya.
Kartasura dan Surakarta
Kedua ibu kota ini, yang merupakan pusat pemerintahan setelah Plered, juga menunjukkan ciri-ciri penataan ruang yang dipengaruhi oleh kosmologi Jawa, meskipun dengan perkembangan dan adaptasi pada masa selanjutnya.
Perkembangan dan Adaptasi
Meskipun prinsip-prinsip kosmologis Jawa menjadi dasar, tata kota Mataram juga mengalami perkembangan dan adaptasi seiring waktu, termasuk pengaruh dari perkembangan sosial, politik dan budaya.
Peristiwa sejarah seperti Geger Pecinan dan perjanjian-perjanjian dengan pihak asing juga mempengaruhi perubahan tata letak dan perkembangan kota.
Pada akhirnya, konsep kosmologi Jawa dalam tata kota Mataram menjadi dasar bagi perkembangan kota-kota budaya di Jawa, termasuk Surakarta yang menjadi pusat budaya hingga saat ini.
Dengan demikian, kosmologi Jawa memainkan peran penting dalam pembentukan dan perkembangan ibu kota Kesultanan Mataram Islam, menciptakan suatu tatanan ruang yang tidak hanya berfungsi secara administratif dan sosial, tetapi juga memiliki makna simbolis dan spiritual yang mendalam.
Kasultanan Mataram Islam (ibukota: Kota Gede / Karta / Plered)
Lokasi: Awalnya di Kota Gede, lalu pindah ke Karta (Dekat Imogiri), lalu Plered.
Tata Kota:
- Alun-alun sebagai pusat interaksi rakyat dan kerajaan.
- Keraton di sisi Selatan alun-alun.
- Masjid Agung di sisi Barat alun-alun.
- Pasar dan pemukiman rakyat di Utara dan Timur.
- Pola ini mencerminkan mandala kosmologis dan filosofi Jawa (alun-alun -- masjid -- keraton).
Istilah Tata Kota:
- Keraton Agung: pusat kekuasaan raja.
- Alun-alun Lor/Kidul: alun-alun depan dan belakang keraton.
- Masjid Gedhe: masjid utama di dekat keraton.
- Siti Hinggil: tanah tinggi tempat singgasana raja pada upacara.
- Kemandungan: zona dalam di kompleks keraton.
- Magangan: ruang pengawal dan arena gladi.
- Pamethakan: jalan utama yang membelah kota.
- Panggung Krapyak: tempat berburu dan pertahanan.
Bahasa lokal: Jawa Mataraman.
Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Lokasi: Surakarta (Solo).
Tata Kota:
- Keraton Surakarta sebagai pusat kosmos dan politik.
- Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul sebagai ruang publik dan spiritual.
- Masjid Agung Surakarta di sebelah Barat alun-alun.
- Benteng Vastenburg di Timur laut (peninggalan kolonial).
- Pasar tradisional, permukiman bangsawan dan sentra kerajinan (seperti Kauman, Laweyan).
- Dikelilingi oleh kali dan batas-batas imajiner.
- Istilah Tata Kota:
- Karaton Surakarta Hadiningrat: istana utama.
- Alun-alun Lor dan Kidul: pusat kegiatan rakyat dan militer.
- Masjid Ageng: masjid kerajaan.
- Benteng Baluwarti: dinding pertahanan kota keraton.
- Gladag: gerbang besar/pintu kota.
- Kauman: kampung ulama.
- Kratonan: tempat tinggal keluarga keraton.
- Sriwedari: taman hiburan bangsawan.
Bahasa lokal: Jawa Mataraman halus.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Lokasi: Yogyakarta.
Tata Kota:
Mengikuti konsep sumbu filosofis: Gunung Merapi -- Keraton -- Laut Selatan.
- Keraton Yogyakarta di pusat.
- Alun-alun Lor dan Kidul sebagai ruang rakyat dan simbol dualitas.
- Masjid Gedhe Kauman di Barat alun-alun Lor.
- Pasar Beringharjo di Timur.
- Benteng Baluwarti mengelilingi keraton.
- Tamansari sebagai taman air dan spiritualitas.
- Jalan utama ke Utara (Jl. Malioboro) menuju Tugu Yogyakarta.
Istilah Tata Kota:
- Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat: pusat kekuasaan.
- Sumbu Imajiner: Gunung Merapi -- Tugu -- Kraton -- Parangtritis.
- Alun-alun Lor/Kidul: tempat rakyat dan upacara.
- Masjid Gedhe Kauman: masjid utama.
- Bangsal: bangunan istana per fungsi (Bangsal Kencono, dll).
- Tamansari: taman air kerajaan.
- Pojok Beteng: sudut benteng (pojok kulon/lor).
- Gerbang Donopratopo: pintu keraton.
Bahasa lokal: Jawa Yogyakarta.
Selain itu kosmologi pada Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningat juga dapat dipahami, bahwa:
- Arah Utara yang diwakili oleh Gunung Merapi merupakan simbol dari matra udara, angkasa atau nirwana (simbol Ketuhanan Yang Maha Esa, dewa-dewi atau betara-betari), diasosikan sebagai bentuk segitiga ()
- Wilayah keraton dan sekitarnya merupakan simbol dari matra darat atau bumi (simbol raja, keluarga, para pejabat dan rakyatnya serta daerah kekuasaannya)
- Arah Selatan yang diwakili oleh Samudera Indonesia (Laut Selatan, Laut Kidul) merupakan simbol matra laut atau bahari (simbol dunia lain atau alam jin, Kanjeng Ratu Kidul, Nyai Roro Kidul dan Nyai Blorong, diasosikan sebagai bentuk gelombang laut.
Kadipaten Mangkunegaran (di Surakarta)
Lokasi: Di dalam kota Surakarta.
Tata Kota:
- Pura Mangkunegaran sebagai pusat kadipaten.
- Dibangun mengikuti gaya keraton mini: pendopo, pringgitan, dalem ageng.
- Taman Sriwedari dahulu bagian dari lanskap budaya Mangkunegaran.
- Berinteraksi dengan Keraton Surakarta dan lingkungan bangsawan.
Istilah Tata Kota:
- Pura Mangkunegaran: istana kadipaten.
- Pendhapa Ageng: balai utama penerimaan tamu.
- Pringgitan: ruang transisi (semi privat).
- Dalem Ageng: inti ruang tinggal.
- Kaputren: ruang wanita istana.
- Alun-alun Mangkunegaran: halaman depan.
- Pasar Gede: pasar rakyat di sekitar kadipaten.
Bahasa lokal: Jawa Surakarta.
Kadipaten Pakualaman (di Yogyakarta)
Lokasi: Di dalam kota Yogyakarta.
Tata Kota:
- Puro Pakualaman sebagai pusat kekuasaan.
- Mengikuti tata keraton kecil: alun-alun, masjid dan kompleks istana.
- Pakualaman menyatu dengan sistem kosmologi kota Yogyakarta.
- Istilah Tata Kota:
- Puro Pakualaman: istana Pakualaman.
- Bangsal Sewatama: pendopo utama.
- Dalem Kepatihan: kantor pangeran/adipati.
- Masjid Pakualaman: tempat ibadah utama.
- Kaputren: tempat tinggal putri.
- Kampung Pakualaman: pemukiman abdi dalem.
Bahasa lokal: Jawa Yogyakarta.
Kasultanan Kasepuhan Cirebon
Lokasi: Cirebon.
Tata Kota:
- Keraton Kasepuhan sebagai pusat kekuasaan.
- Masjid Agung Sang Cipta Rasa di sebelah Barat alun-alun.
- Alun-alun sebagai pusat rakyat dan kegiatan spiritual.
- Pelabuhan Cirebon aktif sebagai pintu perdagangan.
- Jalan-jalan menuju pesisir dan hulu membentuk jalur niaga dan ziarah.
Istilah Tata Kota:
- Keraton Kasepuhan: istana utama.
- Keraton Kaprabonan: pusat spiritualitas.
- Masjid Agung Sang Cipta Rasa: masjid besar sultan.
- Alun-alun: ruang pertemuan rakyat dan kerajaan.
- Pintu Lawang Sanga: sembilan pintu simbol wali.
- Taman Sari Gua Sunyaragi: taman air dan meditasi.
- Pakuwon: kawasan tempat tinggal bangsawan.
- Pintu Gebang: gerbang pelabuhan.
Bahasa lokal: Cirebon-Jawa Pesisiran.
Kasultanan Kanoman Cirebon
Lokasi: Cirebon.
Tata Kota:
- Keraton Kanoman berdampingan dengan Kasepuhan.
- Alun-alun dan masjid juga menjadi pusat kegiatan.
- Pasar Kanoman sebagai pusat ekonomi dan budaya rakyat.
- Hubungan antara keraton-keraton Cirebon ditandai dengan jalur prosesi dan ziarah.
Istilah Tata Kota:
- Keraton Kanoman: istana kadua setelah Kasepuhan.
- Masjid Kanoman: masjid utama.
- Alun-alun Kanoman: lapangan utama.
- Pasar Kanoman: pasar tradisional di luar alun-alun.
- Jinem: tempat raja menyampaikan titah.
- Baluwarti: tembok keliling keraton.
Bahasa lokal: Cirebon-Jawa Pesisiran.
Kasultanan Banten
Lokasi: Banten Lama, juga dikenal dengan nama Surosowan atau SurasajiÂ
Tata Kota:
- Kraton Surosowan sebagai pusat pemerintahan.
- Masjid Agung Banten sebagai pusat spiritual, dengan menara berbentuk mercusuar.
- Benteng-benteng pertahanan mengelilingi pusat kota.
- Pelabuhan Banten sebagai penghubung perdagangan Asia dan Timur Tengah.
- Tersedia jalan lebar dan kanal air serta kawasan etnis (Cina, Arab, dsb).
Istilah Tata Kota:
- Kraton Surosowan: pusat pemerintahan.
- Masjid Agung Banten: masjid agung dengan menara mercusuar.
- Alun-alun Banten: pusat rakyat dan upacara.
- Benteng Speelwijk: pertahanan pantai (peninggalan Belanda).
- Kaibon: keraton ibu suri.
- Pelabuhan Karangantu: jalur niaga internasional.
- Pejagalan: kampung niaga.
- Pakuncen: kawasan pemakaman ulama.
Bahasa lokal: Banten lama (Sunda-Islamic).
Kerajaan Sumedang Larang
Lokasi: Sekitar Sumedang sekarang.
Tata Kota:
- Keraton Sumedang Larang (sekarang Museum Prabu Geusan Ulun) sebagai pusat pemerintahan.
- Terdapat alun-alun dan masjid agung sebagai ruang spiritual dan rakyat.
- Kompleks makam raja-raja Sumedang (Gunung Puyuh, Gedoeng) sebagai ruang sakral.
- Tata letak mengikuti nilai Sunda tradisional dan pengaruh Islam.
Istilah Tata Kota:
- Dalem Agung Sumedang: istana raja (kini Museum Prabu Geusan Ulun).
- Alun-alun Sumedang: lapangan pusat rakyat.
- Masjid Agung Sumedang: tempat ibadah pusat.
- Gunung Puyuh: kawasan keramat dan makam raja.
- Kampung Naga/Rancakalong: cerminan kampung adat.
- Bal Nagri: balai pertemuan resmi.
- Pakubuan: pusat spiritual keraton.
Bahasa lokal: Sunda.
Tata letak atau tata kota dalam istilah bahasa aslinya (bahasa lokal) yang paling lengkap dari salah satu ibukota kabupaten di Jawa yang berusia tertua dan paling bersejarah. Ibukota kabupaten di Jawa yang dianggap tertua dan paling bersejarah adalah Kota Kudus (bagian dari Kabupaten Kudus, dahulu Kadipaten Kudus), yang telah menjadi pusat Islam dan pemerintahan sejak abad ke-15. Kota ini berdiri dengan tata kota khas Jawa--Islam yang unik, merupakan perpaduan antara warisan Majapahit, Wali Songo dan sistem pemerintahan lokal.
Berikut adalah tata letak/tata kota ibukota Kadipaten Kudus (Kudus Kota Lama) dalam istilah bahasa Jawa pesisiran abad ke-15 hingga ke-17, yang masih bisa dikenali hingga sekarang:
Tata Letak Kota Kudus Lama (Kota Islam Jawa Pesisir Awal)
Bahasa lokal: Jawa Kuna -- Jawa Pesisiran Tengah
Alun-alun. Nama lokal: Alun-alun Kudus
Fungsi:
- Lapangan utama untuk rakyat berkumpul, tempat musyawarah, perayaan hari besar Islam.
- Dikelilingi bangunan penting secara kosmologis.
Masjid Agung, Nama lokal: Masjid Menara Kudus atau Masjid Al-Aqsha
Ciri khas:
- Menara bata merah bergaya Majapahit (bekas candi).
- Pusat dakwah dan keagamaan.
- Posisi di Barat alun-alun sesuai tata kota Islam-Jawa.
Kraton / Dalem Bupati / Kadipaten. Nama lokal: Dalem Kanjeng Adipati / Dalem Ageng Kudus
Letak: Di Selatan atau Timur alun-alun, terpisah dengan pagar dan taman.
Fungsi:
- Tempat tinggal dan kantor pemerintahan Adipati Kudus.
- Dihubungkan dengan jalur prosesi Pamethakan.
Pamethakan (Jalan Raja), Nama lokal: Pamethakan Ageng
Fungsi:
- Jalan poros utama yang menghubungkan pusat pemerintahan, masjid, pasar dan pelabuhan.
- Dipakai untuk kirab, upacara atau perayaan Maulid Nabi.
Pasar. Nama lokal: Pasar Wali atau Pasar Kudus
Letak: Di Utara atau Timur masjid dan alun-alun.
Fungsi:
- Tempat aktivitas niaga dan ekonomi.
- Menyatu dengan permukiman para saudagar, Arab, Tionghoa dan Jawa.
Kauman. Nama lokal: Kampung Kauman Kudus
Fungsi:
- Permukiman para ulama, santri dan tokoh agama.
- Dekat dengan masjid agung, mencerminkan hubungan keagamaan dan sosial.
Makam Leluhur. Nama lokal: Pasarean Sunan Kudus
Fungsi:
- Situs pemakaman Sunan Kudus dan para pengikutnya.
- Menjadi pusat ziarah (ziarah wali), terletak di belakang masjid.
- Dalam budaya disebut Gunung/Kuburan Agung.
Pendhapa. Nama lokal: Pendhapa Kabupaten atau Pendhapa Agung
Fungsi:
- Balai musyawarah rakyat dan pejabat.
- Digunakan untuk pertemuan, peradilan, pengumuman resmi.
- Dihubungkan langsung ke dalam dalem kadipaten.
Sendhang dan Talaga. Nama lokal: Sendhang Wali, Talaga Menara
Fungsi:
- Sumber air suci (sendhang) untuk wudhu atau ritual.
- Talaga (kolam) sebagai simbol kesucian dan pusat keseimbangan.
Kampung Tematik Sosial. Contoh:
- Kampung Arab, Kampung Cina, Kampung Pande, Kampung Kemasan (perajin logam).
- Setiap kampung memiliki struktur sosial sendiri dan fungsional.
Konsep Tata Kota Tradisional Kudus Lama
Berdasarkan prinsip Mandala dan Sumbu Kosmologis Islam-Jawa:
- Pusat (pusaka): Masjid -- Alun-alun -- Kadipaten.
- Arah Barat: Masjid (arah kiblat).
- Arah Timur: Pasar (duniawi).
- Arah Selatan: Dalem Agung (pemerintahan).
- Arah Utara: Permukiman rakyat (ekonomi dan pendidikan).
- Sumbu vertikal: Hubungan langit--bumi (Tuhan--manusia).
Aku telah, sedang, masih dan akan melakukan penelitian sejarah Purwakarta sejak 2001 hingga sekarang Pada kurun waktu 2001-2006 aku sering bertemu dan berdiskusi dengan seorang sejarawan dan sekaligus peneliti, yaitu mas Harto Juwono yang sekarang menjadi dosen pada Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.
Dalam diskusi itulah aku mendapatkan beberapa tambahan ilmu tentang kosmologi dan filosofi tata letak ibukota kerajaan-kerajaan, kesultanan-kesultanan dan kabupaten-kabupaten di Tanah Jawad dan Tata Sunda.
Salah satu yang menarik adalah, misalnya tata letak ibukota Kabupaten Purwakarta:
- Alun-alun Kiansantang, Purwakarta (anggap saja sebagai pusat).
- Pendopo dan Gedung Negara di Kabupaten Purwakarta di sebelah Selatan Alun-alun Kiansantang, Purwakarta.
- Masjid Agung di sebelah Barat Alun-alun Kiansantang, Purwakarta.
- Makam Para Bupati dan keluarganya di belakang Masjid Agung Purwakarta.
- Penjara (Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan) di sebelah Utara Alun-alun Kiansantang, Purwakarta.
- Kantor dan Rumah Dinas Asisten Residen di sebelah Selatan Situ Buleud Purwakarta atau di sebelah Timur dari lokasi Kantor Bupati Purwakarta.
Kemiringan alun-alun kabupaten dalam konteks kosmologi dan filosofi tradisional Jawa tidak semata-mata ditentukan oleh ukuran fisik atau derajat geometris, tetapi lebih merupakan konsep simbolis yang berhubungan dengan:
Filosofi "Kemiringan ke Utara"
Dalam beberapa tata kota Jawa tradisional, terutama yang mengacu pada tatanan kratonis (keraton dan kabupaten), ada anggapan, bahwa alun-alun memiliki kemiringan atau condong ke Utara. Ini bukan berarti secara fisik benar-benar miring, tapi memiliki makna simbolik:
- Utara = arah "hulu" / spiritualitas. Dalam kosmologi Jawa, arah Utara sering diasosiasikan dengan gunung (tempat bersemayamnya leluhur dan dewa), kedalaman spiritual dan kekuatan pengayoman.
- Kemiringan = sikap merendah dan menghamba pada Yang Luhur.
Dengan kata lain, simbol kemiringan ke Utara menandakan, bahwa seorang bupati atau penguasa daerah harus selalu "miring" atau tunduk secara spiritual kepada pusat kekuasaan dan nilai-nilai luhur, seperti keraton atau Tuhan.
Kemiringan Simbolik ≠Geometris
Tidak ada angka pasti berapa derajat kemiringannya secara teknis. Tidak seperti perencanaan sipil modern yang memakai inklinasi 1-3 derajat untuk drainase, dalam konteks ini:
Kemiringan adalah simbol posisi batin dan filosofi tata kuasa, bukan elevasi tanah secara literal.
Namun, pada sebagian kawasan alun-alun kabupaten tua (contoh: Yogyakarta, Surakarta, Banyumas atau Cirebon), bisa ditemukan kemiringan fisik kecil sekitar 1--2 derajat ke arah tertentu (sering ke Utara atau Barat) untuk fungsi drainase. Tapi ini adalah hasil adaptasi arsitektural, bukan esensi filosofi.
Filosofi ini erat dengan konsep manunggaling kawula lan gusti serta konsep tatanan makrokosmos dan mikrokosmos dalam kota Jawa tradisional.
Akan tetapi di Kabupaten Purwakarta ini lebih bermakna simbolis, yaitu bahwa:
- Setiap bupati dan para pejabat kabupaten (wakil bupati, patih atau sekretaris kabupaten dan pejabat lain) yang disimbolkan dengan Pendopo dan Gedung Negara di Kabupaten Purwakarta di sebelah Selatan Alun-alun Kiansantang, Purwakarta
- Setiap bupati, para pejabat kabupaten dan mereka yang beragama Islam harus ingat beribadah shalat kepada Allah Subhanahu wa Taala (Tuhan Yang Maha Esa). Setiap waktu shalat 5 (lima) waktu ingatlah shalat berjamaah di masjid dan ini disimbolkan dengan Masjid Agung (arah Qiblat) di sebelah Barat Alun-alun Kiansantang, Purwakarta.
- Setiap pejabat kabupaten yang lupa diri, lupa sumpah dan janji dan lupa pada Allah yang disimbolkan dengan Alun-alun Kiansantang, Purwakarta yang diyakini miring beberapa derajat (1 - 2), maka ingatlah di depan kantor bupati ada Penjara (Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan) di sebelah Utara Alun-alun Kiansantang, Purwakarta, ingat pula akhir hayat yang disimbolkan dengan Makam Para Bupati dan keluarganya di belakang Masjid Agung Purwakarta.
- Pengobat rindu pejabat Kolonial Hindia Belanda pada tanah airnya yang cenderung banyak kanal dan dam, maka di depan Kantor dan Rumah Dinas Asisten Residen di sebelah Selatan Situ Buleud Purwakarta atau di sebelah Timur dari lokasi Kantor Bupati Purwakarta.
- Oleh karena itu tak heran, jika sepanjang Jalan Kornel Singawinata sejak dekat Bank Tabungan Negara Cabang Purwakarta hingga denat dengan Kantor dan Rumah Dinas Asisten Residen terdapat banyak rumah pejabat Kolonial Hindia Belanda.
Demikianlah tinjaun sekilas tentang kosmologi, filosofi, sekaligus simbolisasi tata letak kerajaan-kerajaan, kesultanan-kesultanan dan kabupaten-kabupaten di Pulau Jawa (Tanah Jawa dan Tatar Sunda.*****
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI