Meskipun prinsip-prinsip kosmologis Jawa menjadi dasar, tata kota Mataram juga mengalami perkembangan dan adaptasi seiring waktu, termasuk pengaruh dari perkembangan sosial, politik dan budaya.
Peristiwa sejarah seperti Geger Pecinan dan perjanjian-perjanjian dengan pihak asing juga mempengaruhi perubahan tata letak dan perkembangan kota.
Pada akhirnya, konsep kosmologi Jawa dalam tata kota Mataram menjadi dasar bagi perkembangan kota-kota budaya di Jawa, termasuk Surakarta yang menjadi pusat budaya hingga saat ini.
Dengan demikian, kosmologi Jawa memainkan peran penting dalam pembentukan dan perkembangan ibu kota Kesultanan Mataram Islam, menciptakan suatu tatanan ruang yang tidak hanya berfungsi secara administratif dan sosial, tetapi juga memiliki makna simbolis dan spiritual yang mendalam.
Kasultanan Mataram Islam (ibukota: Kota Gede / Karta / Plered)
Lokasi: Awalnya di Kota Gede, lalu pindah ke Karta (Dekat Imogiri), lalu Plered.
Tata Kota:
- Alun-alun sebagai pusat interaksi rakyat dan kerajaan.
- Keraton di sisi Selatan alun-alun.
- Masjid Agung di sisi Barat alun-alun.
- Pasar dan pemukiman rakyat di Utara dan Timur.
- Pola ini mencerminkan mandala kosmologis dan filosofi Jawa (alun-alun -- masjid -- keraton).
Istilah Tata Kota:
- Keraton Agung: pusat kekuasaan raja.
- Alun-alun Lor/Kidul: alun-alun depan dan belakang keraton.
- Masjid Gedhe: masjid utama di dekat keraton.
- Siti Hinggil: tanah tinggi tempat singgasana raja pada upacara.
- Kemandungan: zona dalam di kompleks keraton.
- Magangan: ruang pengawal dan arena gladi.
- Pamethakan: jalan utama yang membelah kota.
- Panggung Krapyak: tempat berburu dan pertahanan.
Bahasa lokal: Jawa Mataraman.
Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Lokasi: Surakarta (Solo).