Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa

Sebagai seorang mahasiswa yang selalu berusaha memberikan hal-hal bermanfaat untuk semua orang, saya senang berbagi ide dan inspirasi dalam berbagai bentuk.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Petrus: Teror Senyap di Balik Penumpasan Kejahatan Era Orde Baru

20 Juni 2025   07:44 Diperbarui: 20 Juni 2025   07:47 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinterest.com/em4212685 

Antara tahun 1983 hingga 1985, Indonesia diguncang oleh gelombang eksekusi di luar hukum yang dikenal sebagai Penembak Misterius atau disingkat Petrus. Di bawah kekuasaan Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru, ribuan orang, sebagian besar bertato dan diduga sebagai pelaku kejahatan, ditemukan tewas dengan luka tembak, mayat mereka sengaja diletakkan di ruang publik (umum) untuk menciptakan efek teror di masyarakat.

Asal Usul Istilah dan Latar Belakang Petrus

Nama "Petrus" berasal dari akronim Penembak Misterius, menggambarkan sifat operasi ini yang dilakukan secara rahasia oleh aparat bersenjata. Dalam bahasa sehari-hari, Petrus juga dikenal dengan istilah "dar der dor", onomatope yang menggambarkan suara tembakan. Eksekusi ini adalah bagian dari kebijakan "terapi kejut" untuk memberantas kejahatan yang dianggap sudah melampaui batas.

Setelah naik ke tampuk kekuasaan pada 1967, Soeharto membentuk Orde Baru yang menjadikan militer sebagai alat dominasi kekuasaan. Di tengah maraknya kriminalitas di awal 1980-an, operasi Petrus dijalankan secara sistematis oleh TNI dan aparat kepolisian, dimulai dari Yogyakarta dan menyebar ke berbagai kota besar lainnya.

Pelaksanaan Operasi Petrus

Pada Maret 1983, Komandan Garnisun Yogyakarta, Letkol Mochamad Hasbi, merancang operasi Petrus yang kemudian diperluas ke wilayah lain. Aparat keamanan mendapatkan daftar tersangka dari intelijen, dan mereka yang menyerahkan diri harus mengisi formulir data pribadi, membawa kartu khusus, dan melapor secara rutin. Yang tidak mematuhi aturan itu dilenyapkan oleh regu bersenjata. Mereka yang dibunuh, tubuhnya dibiarkan di tempat umum sebagai peringatan bagi masyarakat.

Sebagian besar korban bertato, identitas visual yang kala itu identik dengan kriminal. Hal ini menciptakan ketakutan mendalam di masyarakat, mendorong mereka untuk mengawasi perilaku sendiri agar tidak dicurigai. Karena daftar hitam bersifat rahasia, siapa pun bisa merasa terancam dan tak ada jaminan keselamatan, bahkan dengan uang atau koneksi.

Pengakuan dan Tanggapan Soeharto

Soeharto secara terbuka baru mengakui operasi ini dalam biografinya tahun 1989. Ia menyebut bahwa tindakan itu bukanlah sekadar eksekusi sewenang-wenang, tetapi langkah keras untuk mengatasi kejahatan yang "melampaui batas perikemanusiaan". Dalam kata-katanya:

"Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu. Maka, kemudian meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu."

Jumlah Korban dan Kontroversi 

Angka resmi korban tewas tidak pernah dirilis. Diperkirakan ada antara 300 hingga 10.000 korban. Beberapa sumber seperti kriminolog Mulyana W. Kusumah memperkirakan korban tewas melebihi 2.000 orang. Pemerintah Belanda bahkan sempat meminta klarifikasi atas dugaan 3.000 korban jiwa.

Meskipun angka kejahatan menurun drastis, operasi ini juga mengaburkan batas antara kejahatan dan kekuasaan, membuka ruang bagi pelanggaran HAM besar-besaran. Banyak aktivis dan pengamat operasi Petrus sebagai bentuk represi militeristik terhadap masyarakat dan pembangkangan politik.

Opini Pribadi

"Bagi saya pribadi, operasi Petrus mencerminkan betapa bahayanya sebuah kekuasaan yang tidak dikontrol oleh hukum dan transparansi. Meskipun niat untuk mengurangi kejahatan bisa dipahami, cara yang digunakan yakni pembunuhan tanpa pengadilan dan tanpa bukti yang diuji, sama sekali tidak bisa dibenarkan. Itu bukan keadilan, tapi pembungkaman brutal.

Yang lebih mengerikan lagi, masyarakat didorong untuk hidup dalam ketakutan, seolah-olah keamanan pribadi bisa dicabut sewaktu-waktu tanpa proses. Ini bukan sekadar pelanggaran HAM; ini adalah bentuk kekuasaan absolut yang memperlakukan nyawa manusia sebagai alat propaganda. Pengendalian dengan teror seperti ini bisa meninggalkan trauma kolektif yang panjang, bahkan lintas generasi.

Saya percaya bahwa negara hukum yang sehat seharusnya mengedepankan keadilan yang transparan, bukan kekerasan tersembunyi. Jika pelanggaran dibiarkan atas nama "keamanan", maka hari esok pun bisa diwarnai oleh bentuk represi yang sama dengan wajah berbeda. Karena itu, Petrus bukan sekadar kisah kelam masa lalu ia adalah peringatan keras agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama."

Kesimpulan

Petrus menjadi salah satu bab gelap dalam sejarah kekuasaan Orde Baru. Di satu sisi, operasi ini berhasil menurunkan angka kriminalitas secara drastis; namun di sisi lain, cara brutal dan tanpa proses hukum yang digunakan menciptakan iklim ketakutan, pelanggaran HAM, dan trauma sosial berkepanjangan. Hingga kini, luka dari operasi senyap ini masih membekas dalam ingatan bangsa, menjadi pengingat bahwa keamanan tak boleh dibayar dengan nyawa tanpa keadilan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun