Ada juga teman saya yang punya kebiasaan menulis satu-dua kalimat setiap pagi di catatan ponselnya. Bukan journaling serius yang panjang, cuma kalimat pendek tentang apa yang sedang ia rasakan saat itu. Kadang sesederhana, “Aku capek hari ini tapi masih mau coba pelan-pelan,” atau “Entah kenapa aku sedih hari ini, tapi nggak tahu alasannya.”
Katanya, itu caranya mengingat kalau dirinya masih hidup, masih merasa sesuatu. Dan saya pikir, itu hal yang lembut sekaligus penting. Soalnya nggak semua pagi harus diawali dengan target besar, kadang cukup tahu bahwa kita masih bisa merasa, itu pun udah cukup.
Pagi, dalam bentuk yang paling sederhana, adalah momen kehadiran. Hadir untuk diri sendiri, hadir di kamar kos yang kecil tapi hangat, hadir untuk menyadari bahwa kita masih diberi kesempatan satu hari lagi. Dan di usia yang sibuk dengan tuntutan, perkuliahan, tugas, dan rasa cemas soal masa depan, mungkin itu adalah bentuk rasa syukur yang paling nyata: bisa membuka mata, dan tahu bahwa kita masih bisa memulai.
Jadi, kalau kamu merasa pagimu belum seproduktif orang lain, atau belum seberwarna seperti yang kamu lihat di media sosial, itu tidak apa-apa. Pagi milikmu tetap sah, tetap berarti. Karena yang paling penting bukan apa yang kamu capai saat itu, tapi bagaimana kamu hadir, meski hanya sebentar. Hadir untuk diri sendiri, di tengah dunia yang sering membuat kita merasa harus terus berlari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI