Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bangunan Terakhir

9 Agustus 2022   09:00 Diperbarui: 9 Agustus 2022   09:15 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti mengharap hadirnya lebah yang mampu mengubah nektar dari bunga-bunga menjadi madu. Datang berbarengan dengan menumpuknya embun pagi. Menempel di dedaunan dan rerumputan. Yang menguap setelah matahari mulai menapak nan meninggi.

Seolah mencari isyarat-isyarat suci yang datang dari langit. Menyingkap rahasia-rahasia ilahi yang tak terjamah akal budi. Mengharap turunnya keberkahan berlipat-lipat. Membuka lebar-lebar pintu rezeki dari segala penjuru.

Rinai hujan belum jua surut, setelah semalam hujan lebat menghajar bumi. Petir dan angin kencang menyasak puluhan atap rumah sampai berantakan. Genting-genting berjatuhan, terserak di jalanan dengan kepingan-kepingan kecil dan tak simetris lagi.

Pohon-pohon di seberang deretan rumah bangunan kolonial bertumbangan. Menyasak sebagian badan jalan hingga membuat lalu lintas kendaraan padat merambat.

Di seputar jalanan berpaving itu awalnya berasa senyap. Namun kemudian agak riuh dengan obrolan anak manusia. Berikut suara gesekan sandal menyapu tanah.

Suara adzan terdengar hampir beriringan, dari loud speaker musala dan masjid. Di permukiman yang berdiri ratusan unit rumah itu, ada dua masjid dan dua musala. Jaraknya tak kelewat jauh. Hanya beberapa meter saja. Bahkan, ada yang hanya selisih satu blok saja.

Awalnya, di kompleks itu, hanya berdiri satu masjid saja. Dibangun seratus persen atas insiatif warga. Memanfaatkan lahan fasum. Luasnya, 1.700 meter persegi. Yang sebelumnya ditumbuhi semak belukar, ada tanaman bunga mawar, pohon lemon, delima, kaktus, dan pacar air. Juga beberapa pohon mahoni dan asem yang tumbuh besar.

Warga bersepakat mengumpulkan sumbangan. Memasang baliho besar, menginformasikan rencana pembangunan. Berikut nomer rekening pengiriman donasi. Sebagian warga memilih menyumbang material seperti pasir, semen, dan batu bata.

Belum genap genap bulan, bangunan masjid nampak berdiri kokoh. Struktur bangunannya beton bertulang. Pondasinya menggunakan tiang bor. Cuma bagian interior yang belum terpasang. Disiapkan pula bangunan untuk lantai dua.

Warga bersepakat memberi nama Masjid Al Furqon. Peresmian masjid digeber cukup mewah dan meriah. Dari hasil urunan, warga memotong dua sapi dan tiga ekor kambing. Belum termasuk sumbangan puluhan tumpeng. Di acara seremoni digelar pentas seni islami.

"Saya ingin mewujudkan masjid ini menjadi center of excelent. Menjadi masjid yang unggul," pidato Azhar Rangkuti terdengar lantang. Dia ditunjuk pimpro pembangunan yang kemudian dipercaya menjadi ketua yayasan.

"Masjid harus jadi pusat pergerakan ekonomi rakyat berdasar syariah, tempat layanan kesehatan untuk kaum miskin."

"Di sini, ya di sini harus jadi tempat pendidikan ketrampilan untuk bekal hidup," katanya lagi penuh keyakinan.

Azhar menyatakan gak pernah nanggung dalam bekerja. Bukti keseriusannya ia tuangkan melalui slide-slide power point yang tersusun rapi. Dia paparan prototipe masjid. Model bangunan, berikut fasilitas-fasilitasnya seperti sekolah, koperasi, toko buku, dan resto.

Azhar juga siap memediasi terkait pembangunan masjid dari bantuan pemerintah daerah setempat. Jumlahnya sekitar dua miliar lebih. Nomenklaturnya renovasi tempat ibadah.

"Targetnya dalam dua tahun lah. Ya, wajah masjid ini pasti berubah. Insya Allah"

"Kita bisa wujud masjid nantinya jadi tiga lantai. Interiornya lebih banyak. Jauh lebih bersih dan merona," imbuh Azhar.

***

Masjid Al Furqon terlihat lengang. Seperti halnya pemandangan pada pada Subuh sebelum-sebelumnya. Dipenuhi dua shaf jamaah laki-laki, itu pun tidak sampai penuh. Sementara jamaah perempuan hanya satu shaf saja. Mayoritas jamaah berusia di atas 45 tahun. Selebihnya, beberapa gelintir anak muda.

Usai salat, satu demi satu jamaah beranjak pergi. Tinggal beberapa orang yang masih bertahan. Sebagian jamaah memilih menepi. Duduk bersila dengan kepala tertunduk.

Sebagian jamaah lagi tidak mengubah posisi, seperti saat dia mengakhiri salat dengan mengucap dua kali salam. Kaki kanan ditegakkan dan kaki kiri disingkap masuk ke bawah betis kaki kanan.

Pada saat bersamaan, jamaah nampak menggerak-gerakkan jari-jemarinya, seperti sedang berhitung. Dari atas turun ke bawah, berpindah ke jari satunya, begitu seterusnya. Tanpa menghapal mereka ingat, pada hitungan ke-33 akan berhenti di jari kelingking kanannya.

Mereka berdoa seperti yang diajarkan, mengawali dengan beristighfar. Deretan pengharapan berikutnya dipanjatkannya ampunan untuk keselamatan untuk dirinya, keluarganya, dan orang-orang terdekat, orang-orang yang menyayanginya, dan semua umat Islam di dunia.

Lalu, permohonan dijauhkan dari kecemasan dan kesempitan hidup. Permintaan tidak dipertemukan dengan orang-orang jahil, dan dibebaskan lilitan utang.

Pada ujungnya, memanjatkan doa sapujagat. Memohon kebaikan di dunia, kebaikan di akhirat, dan dijauhkan dari api neraka. Doa pamungkas untuk menutup semua doa-doa yang telah dipanjatkan.

Di bibir masjid, posisi sandal-sandal jamaah sudah berubah, dari yang berserakan menjadi tertata rapi. Dipasangkan dan dijejer memanjang. Ditempatkan sesuai posisi jamaah keluar dari masjid. Pembantu marbot melakukan kegiatan rutin ini usai salat.

"Waalaikum salam, masya Allah," suara serak Ahmad Rofiqi menjawab salam setelah menoleh ke belakang.

Spontan, marbot Masjid Al Furqon itu menjabat tangan kemudian memeluk Fajar Ismawan, teman sepermainan dia.

"Kabarnya baru balik dari Jepang, Fiq?"

"Kamis pagi kemarin. Menemani ibu dulu beberapa hari. Nanti balik ke Bantul, tapi belum tahu tanggal pastinya."

Rofiqi berupaya menahan Fajar. "Kamu tidak keburu pulang, kan?" Diraihnya pundak temannya itu, lalu diajak duduk di selasar masjid.

Kau tidak kangen melihat taman ini? Rofiqi menunjuk ke arah taman yang tak kelewat luas, berukuran 3,6 meter persegi. Bangunan yang paling akhir dibangun di kompleks masjid.

Taman itu bunga anggrek, petunia, bugenvil, teratai, iris, dan mawar. Plus kolam ikan mungil dengan gemericik air yang syahdu. Setelah sekian tahun, taman itu masih nampak asri nan berseri.

Seakan menggugah masa-masa nostalgik. Ingatan Fajar pun menghangat. Mengenang arti penting taman yang menjadi oase manaka kejenuhan menerpa. Kamu tentu masih ingatkan, ide-ide segar lahir saat ngobrol di taman ini, tutur Rofiqi, sumringah.

"Kita bikin gerakan bersih-bersih masjid di sini. Kita bikin festival musik islami di sini. Kita buka kursus Bahasa Inggris dan Bahasa Arab di sini. Ah, terlalu banyak yang aku ingat."

Fajar hanya tersenyum dan menyimak. Sejak awal, dia sengaja tak ingin bereaksi, selain mendengar penjelasan Rofiqi.

"Apa bedanya, sekarang?"

Itulah, kawan. Taman ini seperti saksi bisu perjuangan kita dulu. Tak ada lagi yang memanfaatkan untuk bercengkerama. Menjaring ide dan gagasan tanpa syak wasangka. Mendiskusikan pandangan-pandangan baru yang mencerahkan. Semua kini berasa rigid, kawan.

Aku merasa masjid ini seperti halte. Jamaah datang beribadah, lalu pergi. Rapat seperti agenda rutin untuk menggugurkan kalender kewajiban. Begitu sedikit usulan muncul karena banyak yang takut ketiban sampur. Maunya hanya ikut menyumbang saja, sekadarnya. Banyak yang menolak mendapat amanah karena takut jadi bahan ghibah.

"Percakapan pemikiran jadi hal yang sensitif. Banyak yang gampang tergores. Terlebih soal pilihan politik. Bukan cuma perdebatan penafsiran, urusan membaca kalimat tauhid dengan jeda saja jadi masalah di sini," beber Rofiqi.

Dulu, aku mengira masalah-masalah itu hanya sesaat, kawan. Tapi nyatanya tidak. Perbedaan-perbedaan itu makin menajam, membuat jamaah terbelah. Morobek-robek jalinan persaudaraan. Banyak di antara mereka kini yang tak saling tegur sapa.

"Entah kapan tanggal pastinya, tiga di blok dari sini ada masjid baru. Bangunannya lebih kecil. Gak sampai seribu meter. Masjid Bani Mukmin, namanya."

"Lahannya dari wakaf seorang saudagar kaya. Orang-orang sering memanggilnya, Haji Romli," ujar Rofiqi.

Tak sampai setahun, beber dia lagi, dua musala berdiri. Masih di seputar kompleks ini juga. Bangunan keduanya lebih kecil. Hampir sepadan dengan bangunan rumah tipe 90. Musala Al Amin dan Musala Al Falah.

Matahari mulai menanjak meninggalkan pagi. Sinarnya sebagian menerobos ruang tengah masjid. Fajar melirik jam tangannya. Dia harus menyudahi pertemuan.

Fajar berusaha membesarkan hati pria bercambang yang sebagian mulai memutih itu. "Percayalah, belajarlah dari matahari. Yang terbit dari satu arah, tapi sinarnya melingkupi segala arah. Matahari mengajarkan kita bahwa kehidupan ini tidak selamanya terang. Dan tidak selamanya gelap. Matahari juga mengajarkan kita tidak selamanya kita berada di atas dan tidak selamanya kita berada di bawah."

Keduanya berpelukan lalu bersalaman. Dan pagi pun kembali hening. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun