Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rindu Pun Berayun-ayun di Perayun Biru

29 April 2016   22:36 Diperbarui: 30 April 2016   11:36 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebetulan aku melihatmu di situ. Ya, kebetulan, pikirku, meski ada gugup yang menyusup di antara debar dadaku. Gugup tidak bersekutu dengan langkahku, Lia. Berbeloklah aku, menemuimu. Kamu menoleh ke arahku dengan senyum yang entah apa maknanya.

“Jalan kaki saja; di mana kuda besimu berada, Ji?”   

“Di kandangnya.”

“Sedang rewelkah? Makanya, ajak-ajaklah dia bersamaku jalan-jalan ke pantai Matras, ke air panas Pemali, dan lain-lain, pasti dia tidak akan rewel lagi.”

“Tidak rewel, Lia. Cuma mau berganti suasana.”

“Gantilah kereta kencana, seperti para pangeran.”


Pangeran ? Ah, pangeran dari kampung, apa? Geli hatiku, Lia. Tapi malam ini kenapa kamu sendirian di situ? Ke mana Andi, atau Budi, atau Charli, ataupun  Deni?

Aku urung menanyakan para ‘pangeran’-mu itu. Jangan sampai nama-nama itu merusak suasana yang sedang mengajakku bersahabat malam ini, dan berdua denganmu di perayun biru.

*

Langit bertabur bintang, bulan tampak anggun mengangkang. Malam kesekian aku duduk di sampingmu di perayun biru. Aku hanya bisa mendengarkan kisah-kisahmu, apa saja. Aku suka, Lia. Apalagi dengan ayunan lembut perayun biru, makin hanyutlah aku dalam khusyuk kisahmu.

Ketika kita sedang menikmati goyangan perayun biru, di sudut lancip langit depan kita tampak sebuah titik putih jatuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun