Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ombak Asmara Pantai Rambak - #2

4 Februari 2016   03:25 Diperbarui: 4 Februari 2016   04:27 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang terlalu mudah menemukan aku. Bangka bukanlah pulau yang jauh dari Jakarta. Hanya 50 menit, sudah sampai. Hanya 20 menit pun sampai ke Sungailiat–kota kedua teramai di Pulau Bangka, setelah Pangkalpinang.

 

Kata “Sungailiat” bukanlah nama sebuah kota kecil yang tidak tertera pada peta nasional. Aku sudah mengenalkan daerah asalku melalui akun media sosialku, tentunya, tidaklah perlu merepotkan siapa pun mencarinya. Angkutan antarkota pun sangat mudah didapatkan. Ongkosnya pun tidaklah menjadi masalah krusial bagimu, ‘kan?

 

Dan, Pantai Rambak apalagi bukan dalam masa liburan, tentunya terlalu mudah untuk kamu kunjungi sekaligus menemui kesendirianku di pondok kayu ini. Pantai yang sedang berhari sepi, sendirilah aku di sini. Pantas saja ketika kusebut “Pantai Rambak”, seketika obrolan kamu putuskan.

 

Sebenarnya ketika kamu putuskan itu, ah, tapi, sudahlah. Lumatan bibirmu telah menyampaikan sebuah kenyataan yang tidak pernah terlintas di benakku sejak perjumpaan pertama di Kedai Kopi Paste di Mal Citraland itu. Perjumpaan pertama yang serta-merta kamu suguhkan tato mahkota di antara tengkuk dan punggung mulusmu.

 

Serta-merta pula aku membalikkan tubuhmu dengan sedikit mengelakkan kepala dari kalungan lenganmu di leherku. Sebelum kamu bertanya “kenapa”, segera kulumat mahkota yang tertera pada kulit mulusmu di antara tengku dan punggung. Kemudian kukecup seluruh permukaan kulitmu yang tidak tertutupi oleh kerah kausmu.

 

“Ah, ah, ah…” Lalu kamu mendesis. Aku tidak peduli karena kulit putih-mulusmu terlalu indah, dan tidak perlu kutambahi dengan pikiran selain menikmati fakta ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun