Malam Panjang yang Tak Tertidur
Hujan belum turun, tapi langit telah menggulungkan guntur dari balik awan. Di pucuk daun pandan yang mengitari sarang, embun menggigil sebelum jatuh. Udara malam mulai berat, seperti menahan isak yang tak sempat terucap. Dan di tengah semesta yang menanti reda atau bencana, ratusan tubuh kecil bergerak, pelan, pasti, dalam senyap.
Malam itu, Rawa Biru tak berbicara, tapi menyaksikan. Cahaya hanya datang dari pantulan embun di permukaan daun-daun lebar, dari kilat yang sesekali menyambar dan memamerkan wajah langit yang remuk oleh waktu. Namun di antara kegelapan dan kilat, rumah itu, bangunan megah yang belum selesai, masih menyimpan detak. Detak kerja. Detak semangat.
Musamus berdiri di tengah-tengah sarang yang mulai menjulang kembali. Tubuhnya basah oleh keringat dan kabut, tapi matanya menyala seperti bara yang menolak padam. Di sekelilingnya, teman-teman bekerja dalam diam. Tak ada yang bicara, tapi semuanya saling tahu. Tahu bahwa malam ini bukan malam biasa. Ini adalah malam ujian: untuk kesetiaan, untuk keberanian, untuk jiwa.
"Angin akan makin kencang," bisik Luma sambil menyeret sebatang ranting yang lebih besar dari tubuhnya. "Tapi aku tak mau berhenti."
Musamus menoleh. "Kita tak akan berhenti. Kita hanya akan beristirahat ketika rumah ini selesai berdiri."
"Kalau begitu, izinkan aku menguatkan dinding utara," ujar Ranggai yang datang dari balik semak, membawa lumpur yang sudah bercampur air liur dan debu rumput. "Dinding itu tadi sempat retak sedikit setelah kilat terakhir menyambar."
Musamus mengangguk. "Jangan sendirian. Ajak Sira dan Kenu. Kita tetap bekerja bersama. Kita tetap... gotong royong."
Sira yang mendengar namanya langsung menyahut, "Tentu, Musamus! Aku sudah menyiapkan campuran baru, lebih padat. Ini akan membuat dinding itu bertahan lebih lama."
Kenu menambahkan dengan suara sedikit parau, "Tanganku gemetar, tapi hati ini masih teguh."