"Bukan hanya tanah," ujar si kepiting. "Tapi juga langit. Awan-awan kini datang membawa hujan ringan, bukan badai."
Di atas mereka, belibis terbang rendah, sayapnya membelah udara dengan bunyi seperti gumaman doa. Burung elang Irian menukik tajam, lalu melayang kembali ke atas, seakan memberi salam dari ketinggian. Seekor undan kacamata hinggap di batang kayu yang terendam, memandangi bayangan dirinya di air.
Musamus berdiri dan menatap ke langit. Cahaya matahari menembus celah-celah daun palem, jatuh ke wajahnya seperti pelukan hangat. Ia menoleh ke Ibu Ratu.
"Kau bilang ini jiwa yang baru. Tapi apakah kita layak menerima jiwa ini kembali?"
Ibu Ratu mendekat dan menyentuh dada Musamus dengan ujung antenanya.
"Kau layak. Karena kau tak pernah menyerah mencintainya."
Mereka berdiri dalam diam. Hanya suara air yang mengalir pelan, suara burung yang tak berhenti menyapa, dan dedaunan yang saling menyentuh satu sama lain seperti sedang berdansa dalam syair.
"Lihatlah," bisik Musamus kemudian. "Daun-daun yang kemarin menangis, kini melambai lembut. Tanah yang semalam berduka, kini mengeluarkan aroma kehidupan."
"Dan kampung ini," Rangga menambahkan, "adalah kisah yang tak akan pernah selesai ditulis."
Mereka semua mengangguk. Karena pada pagi itu, di tengah hening dan aroma tanah yang baru, mereka tahu: bukan kekuatan, bukan jumlah, bukan pula bentuk tubuh yang menentukan makna keberadaan.
Tapi cinta yang tekun. Yang sabar. Yang tidak lari ketika badai datang.