Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 71-72

26 September 2025   04:25 Diperbarui: 26 September 2025   04:07 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar (Dokumentasi Pribadi)

"Bukan hanya tanah," ujar si kepiting. "Tapi juga langit. Awan-awan kini datang membawa hujan ringan, bukan badai."

Di atas mereka, belibis terbang rendah, sayapnya membelah udara dengan bunyi seperti gumaman doa. Burung elang Irian menukik tajam, lalu melayang kembali ke atas, seakan memberi salam dari ketinggian. Seekor undan kacamata hinggap di batang kayu yang terendam, memandangi bayangan dirinya di air.

Musamus berdiri dan menatap ke langit. Cahaya matahari menembus celah-celah daun palem, jatuh ke wajahnya seperti pelukan hangat. Ia menoleh ke Ibu Ratu.

"Kau bilang ini jiwa yang baru. Tapi apakah kita layak menerima jiwa ini kembali?"

Ibu Ratu mendekat dan menyentuh dada Musamus dengan ujung antenanya.

"Kau layak. Karena kau tak pernah menyerah mencintainya."

Mereka berdiri dalam diam. Hanya suara air yang mengalir pelan, suara burung yang tak berhenti menyapa, dan dedaunan yang saling menyentuh satu sama lain seperti sedang berdansa dalam syair.

"Lihatlah," bisik Musamus kemudian. "Daun-daun yang kemarin menangis, kini melambai lembut. Tanah yang semalam berduka, kini mengeluarkan aroma kehidupan."

"Dan kampung ini," Rangga menambahkan, "adalah kisah yang tak akan pernah selesai ditulis."

Mereka semua mengangguk. Karena pada pagi itu, di tengah hening dan aroma tanah yang baru, mereka tahu: bukan kekuatan, bukan jumlah, bukan pula bentuk tubuh yang menentukan makna keberadaan.

Tapi cinta yang tekun. Yang sabar. Yang tidak lari ketika badai datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun