Musamus tersenyum dan melangkah turun dari pohon, menghampiri mereka.
"Aku mencium aroma berbeda dari tubuh kalian," katanya sambil mengendus.
"Lumpur baru!" jawab salah satu semut kecil. "Lumpur yang belum tercemar amarah. Lumpur yang belum mengenal dendam."
Ibu Ratu tertawa kecil. "Kau puitis sekali, kecil."
Semua tertawa. Namun di balik tawa itu, ada getar yang halus. Mereka tahu, ini bukan sekadar tentang lumpur atau air. Ini tentang luka yang perlahan tertutup dan mulai menyembuhkan dirinya sendiri dari dalam.
Dari balik semak bakau, muncullah seekor kepiting tua dengan satu capit yang lebih kecil dari yang lain.
"Musamus," panggilnya lirih. "Aku ingin menunjukkan sesuatu."
Mereka mengikuti sang kepiting ke ujung rawa. Di sana, di antara akar-akar palem yang terendam setengah, tumbuhlah tunas-tunas kecil. Daunnya masih terlipat, warnanya hijau muda, seperti belum yakin harus tumbuh atau tidak.
"Aku tidak menanamnya," kata si kepiting. "Mereka datang sendiri. Mungkin dari benih yang terbawa air."
Musamus berjongkok. Ia menyentuh tanah lembap itu dengan hati-hati, seolah menyentuh kulit bayi.
"Tanah yang baik tahu cara memanggil kembali hidup," gumamnya.