Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 71-72

26 September 2025   04:25 Diperbarui: 26 September 2025   04:07 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar (Dokumentasi Pribadi)

Dan Musamus, tubuh kecil dengan jiwa yang lebih besar dari hutan mana pun, telah menjadi saksi bahwa tanah pun bisa kembali bernyanyi, jika kita tidak berhenti mendengarkan.

Mata Musamus yang Basah

Langit pagi itu tampak lembut, seolah baru selesai menyeka air mata malam. Awan-awan tipis melayang pelan seperti gerombolan burung camar angguk hitam yang belum sempat pulang ke sarang. Angin tidak lagi meraung, tapi berbisik, menyusup ke sela-sela dedaunan palem dan menggelitik pucuk bambu yang bergoyang malu-malu.

Di tengah lapangan kampung, Musamus berdiri diam. Rumah-rumah lumpur yang dibangun dengan air liur, rumput, dan tanah itu berdiri tegak kembali. Seperti tubuh lelah yang sudah sempat rebah, lalu bangkit pelan-pelan dengan jiwa yang diperbarui.

Musamus memandangi semuanya dari atas tumpukan ranting kering, yang biasa digunakan sebagai tempat ia menyampaikan pesan-pesan untuk warga. Dadanya bergemuruh, tapi bukan karena takut. Hatinya seperti danau yang terlalu penuh hingga setitik angin pun mampu membuatnya tumpah.

Seekor burung mambruk melintas rendah. Sayapnya menebarkan suara lembut seperti irama gendang tanah. Di kejauhan, sepasang burung cendrawasih bermain di atas pohon ketapang. Langit hari itu seperti panggung, dan burung-burung adalah penari yang menceritakan kisah yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang diam dan mendengarkan.

"Mereka kembali..." gumam Musamus lirih. "Bumi sudah cukup tenang hingga para penunggu langit percaya lagi."

Langkah-langkah kecil terdengar di belakangnya. Rangga, sang panglima muda, mendekat dengan membawa sisa akar palem dan ranting-ranting yang ditemukan setelah banjir reda.

"Kami ingin membangun tempat belajar untuk anak-anak semut," katanya. "Di samping rumah koloni. Supaya mereka belajar tentang tanah, air, dan langit, bukan hanya tentang bagaimana bertahan."

Musamus mengangguk pelan. "Kau bijak, Rangga."

"Bukan aku. Tapi luka yang mengajarku," jawab Rangga cepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun