Dan Musamus, tubuh kecil dengan jiwa yang lebih besar dari hutan mana pun, telah menjadi saksi bahwa tanah pun bisa kembali bernyanyi, jika kita tidak berhenti mendengarkan.
Mata Musamus yang Basah
Langit pagi itu tampak lembut, seolah baru selesai menyeka air mata malam. Awan-awan tipis melayang pelan seperti gerombolan burung camar angguk hitam yang belum sempat pulang ke sarang. Angin tidak lagi meraung, tapi berbisik, menyusup ke sela-sela dedaunan palem dan menggelitik pucuk bambu yang bergoyang malu-malu.
Di tengah lapangan kampung, Musamus berdiri diam. Rumah-rumah lumpur yang dibangun dengan air liur, rumput, dan tanah itu berdiri tegak kembali. Seperti tubuh lelah yang sudah sempat rebah, lalu bangkit pelan-pelan dengan jiwa yang diperbarui.
Musamus memandangi semuanya dari atas tumpukan ranting kering, yang biasa digunakan sebagai tempat ia menyampaikan pesan-pesan untuk warga. Dadanya bergemuruh, tapi bukan karena takut. Hatinya seperti danau yang terlalu penuh hingga setitik angin pun mampu membuatnya tumpah.
Seekor burung mambruk melintas rendah. Sayapnya menebarkan suara lembut seperti irama gendang tanah. Di kejauhan, sepasang burung cendrawasih bermain di atas pohon ketapang. Langit hari itu seperti panggung, dan burung-burung adalah penari yang menceritakan kisah yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang diam dan mendengarkan.
"Mereka kembali..." gumam Musamus lirih. "Bumi sudah cukup tenang hingga para penunggu langit percaya lagi."
Langkah-langkah kecil terdengar di belakangnya. Rangga, sang panglima muda, mendekat dengan membawa sisa akar palem dan ranting-ranting yang ditemukan setelah banjir reda.
"Kami ingin membangun tempat belajar untuk anak-anak semut," katanya. "Di samping rumah koloni. Supaya mereka belajar tentang tanah, air, dan langit, bukan hanya tentang bagaimana bertahan."
Musamus mengangguk pelan. "Kau bijak, Rangga."
"Bukan aku. Tapi luka yang mengajarku," jawab Rangga cepat.