Untuk memastikan CPL tercapai, kurikulum disusun dengan pendekatan backward design, yaitu memulai dari hasil akhir yang diinginkan, lalu merancang mata kuliah, aktivitas, dan pengalaman belajar yang mengarah langsung pada pencapaian itu. Wiggins & McTighe dalam Understanding by Design (2005) menyebut model ini sebagai strategi yang memastikan bahwa setiap kegiatan pembelajaran memiliki relevansi, bukan sekadar rutinitas akademik. Dengan demikian, mahasiswa tidak hanya sibuk menyelesaikan tugas, tetapi menyadari makna dari setiap aktivitas yang dijalani.
Selanjutnya, penilaian dalam OBE menuntut sifat otentik, yakni menilai sejauh mana mahasiswa mampu menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam konteks nyata. Brown, Rust, dan Gibbs dalam Strategies for Diversifying Assessment in Higher Education (1994) menegaskan bahwa penilaian seharusnya menilai "penguasaan" bukan sekadar "penghafalan." Portofolio, studi kasus, proyek, atau simulasi menjadi alat ukur yang lebih manusiawi, karena memberi kesempatan mahasiswa memperlihatkan kemampuannya secara utuh.
Dengan demikian, kurikulum dan penilaian dalam bingkai OBE bukan hanya perangkat teknis, melainkan ekspresi filosofis: mengarahkan pendidikan pada hasil yang bermakna, relevan, dan memerdekakan mahasiswa dari sekadar angka.
Implikasi Filosofis bagi Dosen dan Mahasiswa
Perubahan paradigma yang dibawa OBE memiliki implikasi filosofis yang mendalam bagi peran dosen maupun mahasiswa. Dosen tidak lagi dipandang sebagai pusat pengetahuan yang mendikte seluruh arah pembelajaran, melainkan sebagai fasilitator dan pembimbing. Barr & Tagg dalam artikel klasiknya From Teaching to Learning: A New Paradigm for Undergraduate Education (1995) menegaskan bahwa peran utama dosen kini adalah menciptakan kondisi yang memungkinkan mahasiswa belajar secara efektif, bukan sekadar menyampaikan isi materi.
Dalam kerangka ini, mahasiswa diperlakukan sebagai individu otonom yang mengonstruksi makna belajarnya sendiri. Setiap mahasiswa membawa pengalaman, latar belakang, serta gaya belajar yang unik. Sejalan dengan gagasan konstruktivisme Piaget dalam The Origins of Intelligence in Children (1952), pengetahuan sejati dibangun melalui proses aktif, bukan ditransfer secara pasif. Oleh karena itu, dosen perlu menghargai kebebasan intelektual mahasiswa dan memberi ruang bagi proses pencarian mereka.
Akhirnya, OBE dapat dipandang sebagai praktik "memerdekakan" mahasiswa. Freire dalam Pedagogy of Freedom (1998) menekankan bahwa pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang memberi kesempatan bagi peserta didik untuk menjadi subjek yang sadar, kritis, dan mampu mengambil keputusan atas hidupnya. Dengan OBE, mahasiswa tidak lagi hanya mengejar nilai, tetapi dilatih untuk memiliki kapasitas nyata yang relevan dengan kehidupan.
Dengan demikian, filosofi OBE tidak sekadar mengubah metode belajar, tetapi juga memulihkan martabat pendidikan itu sendiri: menciptakan ruang dialogis di mana dosen dan mahasiswa sama-sama bertumbuh sebagai manusia yang belajar.
Pada akhirnya, Outcome-Based Education (OBE) bukanlah sekadar strategi teknis yang membingkai kurikulum atau menata sistem penilaian, melainkan sebuah cara pandang filosofis tentang martabat mahasiswa dalam proses belajar. Ia mengingatkan kita bahwa pendidikan sejati tidak boleh berhenti pada transmisi pengetahuan, tetapi harus berakar pada pengakuan akan potensi dan kemanusiaan mahasiswa. Dengan demikian, pendidikan hanya akan bermakna apabila mahasiswa sungguh diakui sebagai subjek yang bertumbuh, yang mampu mengonstruksi makna, mengambil peran aktif, dan menanggung konsekuensi dari pilihannya. Mereka bukan objek yang digurui, melainkan pribadi yang sedang menapaki jalan pembentukan diri. Inilah pesan filosofis OBE: menjadikan pembelajaran sebagai ruang pemerdekaan, di mana mahasiswa dan dosen bersama-sama belajar, bertumbuh, dan menghidupi pendidikan sebagai pengalaman yang manusiawi. (*)
Merauke, 15 September 2025
Agustinus Gereda