Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Antara Rencana dan Realita: Refleksi Filosofis tentang Waktu

25 Agustus 2025   04:25 Diperbarui: 24 Agustus 2025   17:22 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hidup kerap menyerupai perahu di sungai yang tak terpetakan; kita mengayuh dengan rencana yang telah disusun rapi, seakan tahu persis ke mana arah tujuan, namun arus waktu sering membawa kita ke tikungan tak terduga, memaksa kita melihat pemandangan yang tak pernah kita masukkan ke peta perjalanan. Di sanalah ujian hati dimulai: ketika mimpi yang kita kejar tertunda, kita dihadapkan pada pilihan untuk terus melawan arus hingga dayung patah, atau mengendurkan kayuhan dan membiarkan waktu menyampaikan pesan yang mungkin baru akan kita pahami di kemudian hari. Esai filosofis ini hadir untuk menelusuri hubungan rapuh namun indah antara rencana dan realita, menimbang penundaan sebagai bagian dari hikmah waktu, dan mengajak kita merenung tentang bagaimana menerima ketidakpastian tanpa kehilangan arah hidup.

Waktu dan Ketidakpastian: Lima Cermin Filsafat

Dalam perjalanan hidup, waktu dan ketidakpastian sering datang beriringan. Mereka seperti dua sahabat lama yang tak bisa dipisahkan: satu mengalir tanpa henti, yang lain membisikkan bahwa arah berikutnya belum tentu jelas. Dari berbagai sudut pandang filsafat, kita dapat memandang keduanya seperti bercermin pada lima kaca berbeda, setiap cermin memantulkan makna yang unik, namun saling melengkapi.

Eksistensialisme mengajak kita melihat hidup sebagai halaman kosong yang menanti tulisan kita. Jean-Paul Sartre dalam Being and Nothingness (1943) menegaskan bahwa manusia bebas menentukan makna hidupnya, bahkan ketika "tinta tumpah dan kata-kata berantakan." Albert Camus, melalui Le Mythe de Sisyphe (1942), mengingatkan bahwa absurditas hidup tidak memaksa kita menyerah; justru di situlah kita menciptakan makna baru, meski rencana runtuh di tengah jalan.

Stoisisme memandang bahwa ada hal-hal yang dapat kita kendalikan, dan ada yang harus kita lepaskan. Epictetus, dalam Enchiridion (c. 125 M), mengajarkan untuk membedakan antara apa yang berada dalam kendali kita dan apa yang tidak. Marcus Aurelius, dalam Meditations (c. 180 M), menulis dengan tenang bahwa kebijaksanaan lahir dari kemampuan memandang kehilangan sebagai bagian wajar dari hidup, "ada yang kita genggam, ada yang kita tatap sambil melepaskannya."

Filsafat Proses dari Alfred North Whitehead melihat kenyataan sebagai arus yang terus bergerak. Dalam Process and Reality (1929), ia menggambarkan hidup sebagai rangkaian peristiwa yang sedang menjadi. Dalam kerangka ini, penundaan bukanlah kebekuan, melainkan tarian diam yang mempersiapkan langkah baru, waktu jeda sebagai ruang bagi kreativitas untuk bernafas.

Fenomenologi yang digagas Martin Heidegger, terutama dalam Being and Time (1927), mengingatkan bahwa waktu bukan sekadar sesuatu yang kita miliki, melainkan suasana di mana kita berada. Kita menghirupnya seperti udara. Penundaan memberi kesempatan untuk "hadir sepenuhnya," menyadari keberadaan kita yang sering terjebak dalam kesibukan tanpa arah.

Filsafat Timur melalui Taoisme dan Zen mengajarkan kebijaksanaan untuk mengalir. Tao Te Ching karya Laozi (sekitar abad ke-4 SM) menguraikan prinsip wu wei, bertindak tanpa memaksa, membiarkan diri selaras dengan irama semesta. Zen, sebagaimana dalam ajaran Shunryu Suzuki (Zen Mind, Beginner's Mind, 1970), mengajarkan kita untuk hadir di sini dan kini, sebagaimana air mengalir tanpa tergesa, membawa jiwa yang tenang melewati bebatuan hidup.

Lima cermin ini tidak hanya memberi kita teori, tetapi juga membuka ruang perenungan: bahwa di balik penundaan, tersimpan kemungkinan makna yang belum sempat kita lihat.

Antara Menunggu dan Bertindak

Menunggu bukanlah tanda pasrah tanpa daya; ia sering kali adalah jembatan sunyi yang menghubungkan kita dengan saat yang tepat. Seperti kata Rainer Maria Rilke dalam Letters to a Young Poet (1929), "Segala sesuatu harus dibiarkan tumbuh dalam diam, seperti benih di bawah tanah." Menunggu memberi ruang bagi sesuatu yang tak kasatmata untuk bekerja, baik dalam diri kita, maupun di luar diri kita.

Namun, di tepi waktu itu, ada perbedaan yang nyaris tak terlihat antara menyerah dan menyerahkan diri pada kebijaksanaan waktu. Menyerah lahir dari keputusasaan, sedangkan menyerahkan diri adalah bentuk kerendahan hati yang sadar bahwa tidak semua dapat dipaksakan. Marcus Aurelius (c. 180 M), mengingatkan bahwa "Apa yang datang padamu adalah bagian dari rancangan alam semesta; menerimanya berarti selaras dengannya."

Penundaan sejati adalah ruang hening, tempat kita bisa mendengar detak halus semesta. Di sana, tanda-tanda kecil sering muncul: bisikan intuisi, kebetulan yang berarti, atau peluang yang muncul tanpa kita paksa. Laozi menyebut ini sebagai wu wei, tindakan tanpa paksaan, yang justru lebih selaras dengan aliran kehidupan. Dalam hening menunggu, kita belajar kapan harus menjejak lagi, kapan harus tetap diam, dan kapan harus mengubah arah dayung.

Pelajaran dari Penundaan

Waktu tunggu adalah guru yang sabar, mengajarkan kita untuk merendahkan hati di hadapan misteri kehidupan. Seperti diungkapkan Seneca dalam On the Shortness of Life (c. 49 M), hidup bukanlah singkat, melainkan sering kita sia-siakan dengan tergesa-gesa. Penundaan memaksa kita berhenti sejenak, melihat bahwa terburu-buru kerap membuat kita kehilangan kedalaman makna.

Di sela-sela jeda, kita menemukan bahwa kelenturan sering lebih kuat daripada ketegasan. Filsuf Tiongkok Zhuangzi, dalam The Complete Works of Chuang Tzu (sekitar abad ke-3 SM), menulis bahwa pohon yang lentur mampu bertahan di tengah badai, sementara yang kaku mudah patah. Penundaan melatih kita untuk menyesuaikan langkah tanpa kehilangan tujuan, membiarkan arah berubah tanpa kehilangan esensi perjalanan.

Makna tidak selalu menunggu di garis akhir; kadang ia muncul di jalan memutar yang bahkan tidak kita rencanakan. Albert Camus (1942), mengingatkan bahwa kebahagiaan bisa ditemukan dalam proses itu sendiri, bukan hanya pada pencapaian. Penundaan memberi kesempatan untuk menghargai pemandangan di sepanjang jalan, memperkaya hati dengan pengalaman yang takkan kita temui jika hanya fokus pada tujuan akhir.

Akhirnya, hidup adalah tarian lembut antara rencana dan realita, sebuah gerak yang menyeimbangkan antara langkah yang kita pilih dan langkah yang semesta izinkan. Kita boleh merancang jalur, menandai peta, dan mengukur jarak, tetapi pada akhirnya arus waktu memiliki iramanya sendiri, kadang bergerak cepat, kadang melambat, seolah mengajak kita berhenti sejenak untuk melihat sekitar. Maka, mari kita melangkah dengan hati yang siap menerima, bukan sebagai tanda menyerah, melainkan sebagai ungkapan percaya pada kebijaksanaan yang lebih besar, sebab terkadang waktu menunda bukan untuk menghalangi, melainkan untuk menyiapkan hadiah yang lebih indah dari yang pernah kita bayangkan, hadiah yang hanya akan tiba pada saat kita benar-benar siap menerimanya. (*)

Merauke, 25 Agustus 2025

Agustinus Gereda

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun