Rawari Bangkit
Pagi itu, kabut belum sepenuhnya mengangkat tirainya dari atas rawa. Embun masih menggantung di ujung daun ketapang, dan angin belum berani meniup suara. Kampung kecil di atas lumpur, Hati Lumpur, mematung dalam keheningan setelah ketegangan serangan semut merah kemarin.
Namun, bukan ketakutan yang menetap di sana. Di balik dinding-dinding kayu yang belum rampung, di bawah atap palem yang belum sempurna, sebuah getar halus tumbuh perlahan: keberanian.
Musamus berdiri di tepi jembatan kayu bus yang baru semalam mereka sambung dengan kerja lembur. Mata kecilnya menatap lumpur yang mulai mengering. Lalu ia menoleh pada Nyuwa yang sedang merangkai pelepah palem menjadi anyaman dinding.
"Rawa tak pernah benar-benar diam, ya, Nyuwa?" bisik Musamus lirih.
Nyuwa mengangguk pelan. "Ia diam hanya untuk menyimpan tenaga. Saat ia bergerak, semuanya ikut bangkit."
Tak lama, dari balik akar-akar bakau, terdengar riuh. Udinga si udang meloncat cepat ke daratan, tubuhnya berlumpur namun matanya berbinar.
"Musamus! Rawari bangkit!"
Musamus memicingkan mata. "Rawari? Benarkah? Kau yakin dia sadar?"
"Ia lebih dari sekadar sadar," kata Udinga dengan napas tersengal. "Ia sedang memanggil semua penghuni rawa. Katanya, sudah terlalu lama kita menunggu keajaiban, padahal kita sendiri yang bisa menjadi keajaiban itu."