"Setuju!" sorak anak-anak lain.
"Kalau begitu," kata Panpan sambil menyentakkan capitnya, "aku akan buat gendang dari batok kelapa. Besok kita mainkan lagu baru!"
Tiba-tiba, dari balik batang palem, muncul sepasang belut kecil, berkilau oleh lumpur rawa. Mereka menggeliat pelan, mendekat, dan menyapa, "Kami bawa lumpur untuk menguatkan dinding rumah kalian."
"Wah!" seru Pipa. "Kalau begitu, kita harus buat lagu tentang lumpur!"
Lalu dimulailah keramaian kecil itu: sebagian menyanyi, sebagian menari, dan sebagian lain mulai menyusun lirik untuk lagu berikutnya. Di tengah keceriaan itu, tidak ada yang terlalu kecil untuk tidak penting. Setiap suara dihargai, setiap tarikan napas dianggap bagian dari simfoni.
Malam merayap perlahan. Bintang-bintang bermunculan seperti cahaya kecil di antara ranting ketapang dan daun palem yang mengayun. Rumah lumbung berdiri belum sempurna, tapi sudah terasa seperti rumah: hangat, penuh cinta, dan kini, bernyawa.
Anak-anak mulai berbaring di atas tikar rumput yang dibentangkan. Mereka menggenggam daun-daun kecil sebagai bantal. Suara nyanyian masih terdengar samar, kini berubah jadi senandung lembut seperti doa.
Musamus berdiri pelan, menatap ke arah langit.
"Kalau suatu saat kita tiada," bisiknya, "semoga suara anak-anak ini tetap tinggal. Sebagai nyanyian untuk sabana, hutan, dan rawa---bahwa suatu masa, makhluk kecil pernah mencoba menjaga rumahnya."
Dan dari langit, bintang tertua bersinar lebih terang sejenak. Seolah menjawab: Iya, kami mendengar.
Langkah Kecil yang Serempak