"Letih itu kalau bekerja sendirian," jawabnya sambil tersenyum. "Tapi lihatlah ini, bahkan ikan kecil dari sungai datang membawa daun kering untuk alas dinding. Mana bisa aku diam saja?"
Musamus tertawa, dan tawanya menular. Anak-anak ikut tertawa. Burung nuri menirukan suara tawa itu, dan tawa itu bergema ke hutan, rawa, dan seluruh semesta kecil itu.
Hari terus berjalan. Kayu-kayu palem berdiri tegak menjadi tiang. Daun-daun ketapang dan palem tersusun rapi menjadi dinding. Lantai mulai dilapisi tikar anyaman rumput rawa yang wangi. Lumpur dari udang dan tanah busuk dari akar bakau menjadi perekat yang kuat.
Saat matahari mulai condong ke barat, seluruh makhluk berhenti sejenak. Musamus berdiri di tengah-tengah mereka, tubuh kecilnya memantulkan cahaya sore seperti kilau harapan.
"Kawan-kawan," katanya dengan suara gemetar oleh haru, "kita bukan membangun rumah biasa. Kita sedang membangun cerita."
"Cerita tentang apa?" tanya Pipa polos.
"Cerita tentang bagaimana langkah kecil bisa berarti besar. Cerita tentang makhluk-makhluk yang dulu asing, kini jadi saudara. Cerita bahwa tak ada yang terlalu kecil untuk memberi arti. Bahkan seekor belut, bahkan seekor semut."
Udinga si udang menatap langit. "Hari ini aku merasa lebih dari sekadar penghuni lumpur. Aku merasa berguna."
"Karena kamu memang berguna," jawab Musamus.
Panpan berdehem dan berkata, "Jadi, kalau rumah ini nanti selesai... apakah kita boleh tinggal di dalamnya bersama?"
"Rumah ini bukan hanya milik semut," jawab Musamus. "Ini rumah bagi siapa saja yang rela melangkah bersama."