Anak-Anak Menyanyi
Mentari condong ke barat, memantulkan cahaya keemasan di antara batang-batang kayu bus yang basah dan permukaan rawa yang tenang. Udara sore membawa aroma rumput kering yang dijemur, campur embun sisa pagi dan jejak lumpur yang masih menempel di kaki-kaki kecil penghuni kampung. Di pelataran rumah lumbung yang sedang dibangun, suara-suara kecil mulai memenuhi ruang udara.
Mereka datang dari balik semak ketapang dan akar bakau, dari celah-celah kayu dan lorong kecil sarang di bawah tanah. Anak-anak kampung: semut-semut muda dengan mata bersinar dan tubuh mungil, berlarian sambil membawa daun-daun palem kering yang dijadikan alat musik sederhana.
"Hari ini kita bernyanyi untuk rumah kita!" teriak Pipa, anak semut paling ceria yang rambut antenanya selalu melambai-lambai mengikuti irama langkah.
"Iyaaa!" seru kawan-kawannya serentak. Mereka membentuk lingkaran di depan bangunan kayu yang telah dilapisi gulungan rumput, sebagian atap palem mulai terpasang.
Musamus, sang kepala kampung, duduk tenang di atas sebilah kayu palem yang dijadikan bangku darurat. Matanya hangat menyapu satu per satu wajah kecil yang kini duduk bersila, siap menyanyi.
Seekor kepiting kecil, Panpan, ikut bergabung. Cangkangnya dicat alami oleh lumut rawa, dan ia membawa dua kulit biji ketapang yang dipukul-pukulkan sebagai perkusi.
"Aku mau nyanyi lagu rawa," katanya malu-malu. "Yang diajarkan ibuku waktu kecil dulu."
"Nyanyikan, Panpan," ujar Musamus lembut. "Biarkan air rawa dalam suaramu ikut membasuh hati kita."
Maka mulailah suara-suara kecil itu menyatu. Lagu sederhana tentang sungai yang tak pernah marah meski selalu diinjak, tentang rumput yang bangkit lagi meski diinjak hujan dan angin. Tentang lumpur yang mengandung kehidupan---tempat lahirnya udang, belut, dan ikan kecil yang jadi sahabat sejak pagi buta.
"Kami kecil, tapi kami bisa.
Membawa daun, menggulung rumput tua.
Kami mungil, tapi kami kuat.
Membangun rumah dari cinta yang lekat."
Pipa menari di tengah lingkaran, daun palem di tangannya menjadi kipas. Panpan memukul kulit ketapang pelan, sementara dua anak semut dari sisi timur meniup seruling kecil yang mereka buat dari batang kayu bus berlubang.
Tawa, irama, dan semangat menyatu dalam nyanyian yang lebih jujur daripada upacara apapun. Bukan karena iramanya sempurna, melainkan karena hati mereka menari bersama, dalam satu rasa: bahagia karena turut membangun.
Tina, ibu semut muda yang pagi tadi menggulung rumput, berdiri di samping Musamus. Air matanya berkilat.
"Dulu, waktu rumah kami hanyut oleh banjir rawa," katanya pelan, "aku takut anakku akan kehilangan tawa. Tapi lihatlah... sekarang mereka malah menyanyi."
Musamus menoleh padanya. "Mungkin, justru dari kehilangan itu, mereka belajar memeluk yang tersisa."
Langit mulai memerah. Di kejauhan, awan-awan berwarna jingga menari di balik siluet bakau. Dari arah sungai, suara percikan air terdengar: seekor ikan meloncat dari permukaan, seolah ingin turut menyambut irama yang melambung ke udara.
"Lagu ini," kata Pipa setelah mereka selesai menyanyi, "harus dinyanyikan setiap sore sampai rumah ini selesai!"
"Setuju!" sorak anak-anak lain.
"Kalau begitu," kata Panpan sambil menyentakkan capitnya, "aku akan buat gendang dari batok kelapa. Besok kita mainkan lagu baru!"
Tiba-tiba, dari balik batang palem, muncul sepasang belut kecil, berkilau oleh lumpur rawa. Mereka menggeliat pelan, mendekat, dan menyapa, "Kami bawa lumpur untuk menguatkan dinding rumah kalian."
"Wah!" seru Pipa. "Kalau begitu, kita harus buat lagu tentang lumpur!"
Lalu dimulailah keramaian kecil itu: sebagian menyanyi, sebagian menari, dan sebagian lain mulai menyusun lirik untuk lagu berikutnya. Di tengah keceriaan itu, tidak ada yang terlalu kecil untuk tidak penting. Setiap suara dihargai, setiap tarikan napas dianggap bagian dari simfoni.
Malam merayap perlahan. Bintang-bintang bermunculan seperti cahaya kecil di antara ranting ketapang dan daun palem yang mengayun. Rumah lumbung berdiri belum sempurna, tapi sudah terasa seperti rumah: hangat, penuh cinta, dan kini, bernyawa.
Anak-anak mulai berbaring di atas tikar rumput yang dibentangkan. Mereka menggenggam daun-daun kecil sebagai bantal. Suara nyanyian masih terdengar samar, kini berubah jadi senandung lembut seperti doa.
Musamus berdiri pelan, menatap ke arah langit.
"Kalau suatu saat kita tiada," bisiknya, "semoga suara anak-anak ini tetap tinggal. Sebagai nyanyian untuk sabana, hutan, dan rawa---bahwa suatu masa, makhluk kecil pernah mencoba menjaga rumahnya."
Dan dari langit, bintang tertua bersinar lebih terang sejenak. Seolah menjawab: Iya, kami mendengar.
Langkah Kecil yang Serempak
Embun masih menggantung di ujung rumput rawa ketika Musamus keluar dari lubang sarangnya. Ia menghela napas dalam-dalam, membiarkan aroma lumpur, rumput basah, dan getah kayu bus memenuhi paru-parunya. Di kejauhan, sinar matahari baru mulai menyapu pucuk-pucuk palem dan ketapang. Angin pagi berdesir pelan seperti ucapan selamat pagi dari alam.
Hari ini hari besar.
Hari ketika langkah-langkah kecil tidak lagi berjalan sendiri, tapi saling menyambut, menari dalam satu irama: kebersamaan.
Seekor anak semut datang tergopoh-gopoh.
"Pak Musamus!" serunya. "Ibu-ibu sudah menganyam tikar, anak-anak siap bernyanyi lagi, dan para pemuda sedang memikul kayu palem ke tempat pertemuan."
Musamus mengangguk. "Bagus, Nak. Hari ini kita tidak membangun dengan tangan, tapi dengan hati."
Di tanah lapang tempat rumah besar akan berdiri, semut-semut telah berkumpul. Tidak hanya dari kampung Musamus, tapi juga dari rumpun-rumpun jauh yang sebelumnya hanya menyendiri. Bahkan keluarga udang rawa datang, berenang dari kanal hutan bakau.
"Maaf kami terlambat," kata Udinga, si udang jantan, menyeka matanya dengan antenanya yang melengkung.
"Kami membawa lumpur lengket dari dasar sungai. Sangat bagus untuk merekatkan dinding kayu bus."
"Tidak apa-apa," jawab Musamus dengan senyum. "Yang penting kalian datang."
Kepiting Panpan memukul dua buah kulit biji ketapang, menandakan dimulainya kerja hari itu. Bunyi tak-tak-tak itu sederhana, tapi memanggil sesuatu yang lebih besar: semangat.
"Angkat kayunya!" seru Pipa, si semut kecil yang kini menjadi koordinator penyangga atap.
Di sisi lain, belut kecil dari rawa mulai menggali parit kecil untuk drainase, memastikan air hujan nanti tidak membanjiri rumah. Mereka meluncur cepat, tubuhnya membelah lumpur dengan lincah.
Seekor burung nuri dari pohon ketapang hinggap di dahan dan berseru, "Aku bawa tali hutan! Ayo, siapa mau ikat bagian atap?"
"Akuuu!" seru Panpan, berloncatan sambil membawa seutas rotan.
Kerja mereka tidak sunyi. Sepanjang hari, lagu-lagu sederhana mengalir dari mulut anak-anak, dari semilir angin yang menggesek dedaunan, dari getaran bumi yang menerima jejak-jejak kecil penuh cinta.
"Langkah kecil, tapi bersama.
Suara kecil, tapi ramai.
Tangan mungil, tapi banyak.
Rumah ini lahir karena kita semua."
Di sela-sela kerja, Musamus menghampiri seekor semut tua yang sedang mengikat sambungan kayu.
"Pak Tua Lolo, kau tak letih?"
"Letih itu kalau bekerja sendirian," jawabnya sambil tersenyum. "Tapi lihatlah ini, bahkan ikan kecil dari sungai datang membawa daun kering untuk alas dinding. Mana bisa aku diam saja?"
Musamus tertawa, dan tawanya menular. Anak-anak ikut tertawa. Burung nuri menirukan suara tawa itu, dan tawa itu bergema ke hutan, rawa, dan seluruh semesta kecil itu.
Hari terus berjalan. Kayu-kayu palem berdiri tegak menjadi tiang. Daun-daun ketapang dan palem tersusun rapi menjadi dinding. Lantai mulai dilapisi tikar anyaman rumput rawa yang wangi. Lumpur dari udang dan tanah busuk dari akar bakau menjadi perekat yang kuat.
Saat matahari mulai condong ke barat, seluruh makhluk berhenti sejenak. Musamus berdiri di tengah-tengah mereka, tubuh kecilnya memantulkan cahaya sore seperti kilau harapan.
"Kawan-kawan," katanya dengan suara gemetar oleh haru, "kita bukan membangun rumah biasa. Kita sedang membangun cerita."
"Cerita tentang apa?" tanya Pipa polos.
"Cerita tentang bagaimana langkah kecil bisa berarti besar. Cerita tentang makhluk-makhluk yang dulu asing, kini jadi saudara. Cerita bahwa tak ada yang terlalu kecil untuk memberi arti. Bahkan seekor belut, bahkan seekor semut."
Udinga si udang menatap langit. "Hari ini aku merasa lebih dari sekadar penghuni lumpur. Aku merasa berguna."
"Karena kamu memang berguna," jawab Musamus.
Panpan berdehem dan berkata, "Jadi, kalau rumah ini nanti selesai... apakah kita boleh tinggal di dalamnya bersama?"
"Rumah ini bukan hanya milik semut," jawab Musamus. "Ini rumah bagi siapa saja yang rela melangkah bersama."
Mereka saling pandang. Tak ada kata, hanya senyum dan pelukan kecil, saling menggenggam antena, capit, sirip, dan sayap. Semesta kecil itu berubah menjadi keluarga.
Langit senja melukis siluet rumah yang kini berdiri tegak meski belum sempurna. Tapi fondasinya sudah kuat: persaudaraan. Dindingnya tak hanya dari kayu dan lumpur, tapi dari janji. Atapnya bukan hanya daun palem, tapi impian.
Malam itu, mereka duduk mengelilingi rumah yang baru jadi setengahnya. Anak-anak menyanyikan lagu. Ibu-ibu membawa daun ketapang yang dibakar untuk mengusir nyamuk. Para bapak saling bertukar cerita tentang masa lalu yang kini berubah.
Musamus menatap ke kejauhan, ke arah gelap yang diselingi bintang.
"Mungkin," bisiknya pada diri sendiri, "langkah kecil yang serempak bisa mengubah dunia. Sedikit demi sedikit. Seperti semut membangun rumah. Seperti hati-hati kecil menyulam harapan."
Dan malam pun datang. Tapi malam itu tak gelap. Ia penuh cahaya dari tawa, dari langkah kecil yang kini serempak, menuju esok yang lebih terang.
Bersambung
Merauke, 10 Agustus 2025
Agustinus Gereda
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI