Embun masih menggantung di ujung rumput rawa ketika Musamus keluar dari lubang sarangnya. Ia menghela napas dalam-dalam, membiarkan aroma lumpur, rumput basah, dan getah kayu bus memenuhi paru-parunya. Di kejauhan, sinar matahari baru mulai menyapu pucuk-pucuk palem dan ketapang. Angin pagi berdesir pelan seperti ucapan selamat pagi dari alam.
Hari ini hari besar.
Hari ketika langkah-langkah kecil tidak lagi berjalan sendiri, tapi saling menyambut, menari dalam satu irama: kebersamaan.
Seekor anak semut datang tergopoh-gopoh.
"Pak Musamus!" serunya. "Ibu-ibu sudah menganyam tikar, anak-anak siap bernyanyi lagi, dan para pemuda sedang memikul kayu palem ke tempat pertemuan."
Musamus mengangguk. "Bagus, Nak. Hari ini kita tidak membangun dengan tangan, tapi dengan hati."
Di tanah lapang tempat rumah besar akan berdiri, semut-semut telah berkumpul. Tidak hanya dari kampung Musamus, tapi juga dari rumpun-rumpun jauh yang sebelumnya hanya menyendiri. Bahkan keluarga udang rawa datang, berenang dari kanal hutan bakau.
"Maaf kami terlambat," kata Udinga, si udang jantan, menyeka matanya dengan antenanya yang melengkung.
"Kami membawa lumpur lengket dari dasar sungai. Sangat bagus untuk merekatkan dinding kayu bus."
"Tidak apa-apa," jawab Musamus dengan senyum. "Yang penting kalian datang."
Kepiting Panpan memukul dua buah kulit biji ketapang, menandakan dimulainya kerja hari itu. Bunyi tak-tak-tak itu sederhana, tapi memanggil sesuatu yang lebih besar: semangat.