"Lihat arah itu," bisik Musamus. "Itulah arah rumah pertama kita, tempat para tetua dulu menanam akar pertama."
Semua diam. Tak ada suara selain desir angin dan gesekan pelepah. Tapi dalam diam itu, tumbuh pengertian bahwa mereka, sekecil apapun, bukan sekadar penghuni rawa. Mereka adalah penjaga jiwa tanah ini.
"Kalau mereka mendirikan penanda, mungkin ini waktunya kita juga menandai wilayah kita," ujar Lara.
"Dengan apa?" tanya Kore. "Manusia tak bisa baca huruf kita."
"Dengan kehidupan," jawab Musamus. "Dengan rumah semut yang kita bangun lebih tinggi, lebih terang, dan dengan pola yang berbeda. Biarkan mereka tahu, kita hidup, kita ada, dan kita menjaga tempat ini."
Sore itu, di bawah pohon besar, semut-semut tak hanya membicarakan angin dan pesan. Mereka mulai merancang bentuk rumah baru, cara menyusun kayu dan dedaunan agar terlihat dari atas perahu. Mereka mencipta bukan untuk melawan, tapi untuk mengingatkan.
Karena kadang, dunia berubah bukan oleh suara keras, tapi oleh kehadiran yang tak bisa diabaikan.
Dan angin terus berhembus, membawa kabar, membawa harapan, dan membawa jiwa-jiwa kecil yang tak pernah menyerah.
Bersambung
Merauke, 01 Agustus 2025
Agustinus Gereda