Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 27-28

1 Agustus 2025   04:00 Diperbarui: 31 Juli 2025   19:27 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar (Dokumentasi Pribadi)

Luma menggeleng. "Aku tak yakin. Tapi mereka menyadari sesuatu. Mereka mendirikan tiang baru, tak jauh dari tempat pohon sagu tumbang kemarin. Bukan untuk menambatkan perahu, tapi seperti, seperti penanda. Mungkin peringatan."

Pak Gala, yang sedari tadi mendengarkan dengan mata setengah terpejam, membuka suara. "Angin membawa pesan bukan hanya kepada kita, tapi juga kepada mereka. Dalam semesta yang saling berkait, suara kecil tetap bisa menggugah telinga yang jauh, asalkan niatnya tulus dan dijalarkan lewat alam."

"Jadi kita harus apa sekarang?" tanya Lara. "Menunggu saja?"

Musamus berdiri. Tubuhnya tak besar, tapi setiap geraknya memancarkan ketenangan. Ia menatap satu per satu wajah sahabat dan warga di sekelilingnya.

"Kita tidak menunggu. Kita bersiap," jawabnya lembut. "Kita jaga kampung ini seperti menjaga luka yang belum sembuh, dengan sabar, dengan hati-hati, tapi tidak pasrah. Angin telah menyampaikan pesan. Sekarang giliran kita menenun makna dari pesan itu."

Kore mengangguk perlahan. "Aku akan patroli ke arah barat. Kalau mereka datang lebih dekat, kita harus tahu dulu, bukan saat mereka sudah berdiri di atas kayu-kayu rumah kita."

Luma berseru, "Dan aku akan ke bunga palem lagi malam ini. Jika mereka benar-benar memperhatikan tanda, aku akan ubah pola kelopak, lebih mencolok. Biar langit pun bisa membaca."

"Dan kami," ujar Teto mewakili penghuni perairan, "akan menjaga dasar rawa dari limbah yang mulai mengendap. Kami sudah mencium bau solar sejak kemarin."

Pak Gala berjalan pelan ke tengah lingkaran, mengambil sepotong daun palem kering dan mengangkatnya tinggi.

"Dulu, ketika aku masih muda, angin yang membawa pesan selalu dianggap bagian dari hukum alam. Tapi kini, di zaman di mana banyak pohon tumbang dan sungai dibelokkan, angin menjadi satu-satunya penjaga yang tersisa. Jangan abaikan ia. Dengarkan baik-baik."

Ia meletakkan daun itu di tanah, tepat di tengah lingkaran semut-semut dan sahabat rawa. Angin sore meniupnya pelan, membuatnya berputar kecil sebelum berhenti menghadap timur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun