Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 27-28

1 Agustus 2025   04:00 Diperbarui: 31 Juli 2025   19:27 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar (Dokumentasi Pribadi)

Buah Kecil di Tengah Arus

Rawa pagi itu berbisik pelan, airnya tenang tapi menyimpan arus yang tak terlihat mata. Kabut yang biasa menggantung di pucuk palem sudah terangkat, memberi jalan pada sinar matahari yang jatuh lembut menembus celah daun-daun. Di bawah pohon besar, tempat semut-semut Musyawarah berkumpul selama berhari-hari, suasana masih bergema oleh diskusi kemarin: tentang tembok, tanggul hidup, dan kemungkinan-kemungkinan baru yang lahir dari kebersamaan.

Namun pagi ini, bukan Musamus yang membuka pertemuan. Seekor semut muda berdiri di tengah lingkaran, tubuhnya kecil, belum penuh tumbuh tanduk antena seperti para tetua, tapi matanya tajam, penuh cahaya. Ia bernama Luma.

"Saya tahu, saya bukan siapa-siapa di antara kalian," suara Luma lirih, tapi cukup keras untuk didengar mereka yang duduk di akar dan lipatan daun palem. "Saya hanya semut pemanjat batang palem, pengumpul serbuk sari dan buah-buah kecil. Tapi tadi pagi, saya melihat sesuatu."

Semua mata tertuju padanya. Seekor burung kakatua yang bertengger di dahan palem pun menoleh, diam-diam mendengarkan.

"Ada perahu besar melintas di rawa," lanjut Luma. "Bukan perahu seperti milik para kepiting atau nelayan burung air. Ini... ini perahu manusia. Ada suara mesin. Dan mereka menebang pohon. Aku lihat sendiri pohon sagu tua rubuh ke air, dan banyak ikan meloncat ketakutan."

Riuh rendah terdengar. Para semut saling pandang. Beberapa menggerakkan rahang mereka, tanda cemas yang sudah dikenal sejak generasi lampau.

"Tenang, saudara-saudara," ujar Musamus sambil melangkah ke tengah lingkaran. "Mari dengarkan dulu sepenuhnya apa yang Luma lihat."

Luma menarik napas. "Aku mencoba mendekat, menyusuri tangkai palem, tapi baunya menyengat. Bau asap dan besi. Mereka tak melihatku. Tapi aku melihat mereka membentangkan jaring besar. Bukan untuk menangkap ikan, tapi untuk menutup aliran air ke arah barat kampung kita."

Pak Gala mengernyit. "Kalau benar begitu, ini bukan hanya urusan kita sebagai semut. Ini bisa mengubah arus rawa. Mengubah hidup semua makhluk di dalamnya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun