Paus Fransiskus dalam Laudato Si' (2015, no. 102) mengingatkan bahwa "Bukan teknologi yang bersalah, tetapi cara manusia menggunakannya." Maka, pendidikan sains di sekolah Katolik harus mengakar pada spiritualitas kesederhanaan, mengajarkan murid bahwa hidup yang baik bukanlah hidup yang mewah, tetapi hidup yang selaras dengan ciptaan dan bebas dari perbudakan konsumsi.
Dengan membentuk cara pandang seperti ini, IPA menjadi medan latihan bagi murid untuk tidak hanya menjadi cerdas secara intelektual, tetapi juga bijaksana secara spiritual, mampu berkata cukup di tengah dunia yang terus membisikkan "kurang."
Akhirnya, ilmu dan iman bukanlah dua kutub yang bertentangan, melainkan dua sayap yang membawa manusia terbang menuju kebenaran yang utuh. Dalam pendidikan IPA, keduanya harus berjalan berdampingan agar sains tidak menjadi dingin tanpa makna, dan iman tidak kehilangan pijakan atas ciptaan. Melalui pengajaran IPA yang ditanamkan dalam terang nilai-nilai Kristiani, kita tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi menumbuhkan kebijaksanaan, membentuk generasi yang memahami dunia secara ilmiah sekaligus menghargainya sebagai anugerah, generasi yang jujur dalam meneliti, sederhana dalam hidup, dan bertanggung jawab atas bumi. Di sinilah peran guru Katolik menjadi penting: menjadi teladan yang menyalakan kekaguman, menumbuhkan integritas, dan membentuk murid yang cerdas sekaligus berhati bening, penjaga masa depan yang mencintai ciptaan dan mengenal Sang Pencipta. (*)
Merauke, 26 Juli 2025
Agustinus Gereda
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI