Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Di Antara Telinga dan Hati: Seni Bicara dalam Bayang Sokrates

10 Juni 2025   04:25 Diperbarui: 11 Juni 2025   06:03 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seni berbicara (Sumber Ilustrasi: Freepik)

Pada suatu sore yang lembut, ketika gelas-gelas kopi belum benar-benar kosong dan angin membelai percakapan, terdengarlah kalimat akrab: "Sudah dengarkah?"---sebuah isyarat halus menuju ruang gosip, tempat nama-nama manusia diperdagangkan ringan seolah suara tak pernah menyayat. Dalam lingkaran obrolan harian---di teras rumah, sudut kantor, grup pesan singkat---berbicara sering kehilangan maknanya, menjadi kebiasaan mekanis yang tampak remeh namun diam-diam menumpulkan nurani. Maka layak kita bertanya: adakah yang kita ucapkan benar lahir dari kejernihan pikir, atau sekadar gema kegaduhan tanpa arah yang menutup kehampaan?

Warisan Sokrates: Tiga Level Keterampilan Berbicara

Di antara bisik dan lantang, Sokrates pernah menunjukkan jalan sunyi namun terjal dalam berbicara. Meski tak meninggalkan tulisan, warisannya direkam oleh Plato dan diwariskan hingga kini. Salah satu ajaran yang kerap disarikan darinya adalah pembagian tiga tingkat kebiasaan berbicara manusia.

Level terbawah adalah ketika lidah sibuk membicarakan orang lain: siapa yang gagal, siapa yang jatuh, siapa yang jadi bahan. Level menengah bergeser pada peristiwa: apa yang terjadi, bagaimana reaksi. Namun, hanya di level tertinggi percakapan menyentuh gagasan---tentang keadilan, kebebasan, makna hidup---yang membuka ruang bagi nalar dan transformasi diri.

Dalam terang etika komunikasi, ini bukan sekadar klasifikasi isi, tapi cermin kedalaman batin. Membicarakan orang sering lahir dari hasrat dangkal; membahas peristiwa menuntut observasi tapi jarang menyelam; membicarakan ide menuntut keberanian untuk ragu, bertanya, dan berubah. Inilah percakapan yang merawat martabat.

Sebagaimana dicatat Christopher Phillips dalam Socrates Caf: A Fresh Taste of Philosophy (2001), Sokrates meyakini bahwa pertanyaan yang baik lebih penting daripada jawaban yang cepat. Dalam semangat itu, berbicara bukanlah arena untuk pamer pandai, melainkan ruang mengundang kejujuran dan kedalaman bersama.

Sayangnya, dalam lanskap digital yang hiruk-pikuk, kita justru ramai di level terbawah. Media sosial menjadi panggung bagi komentar tentang orang, bukan ide. Kita lebih sigap menyebar kabar siapa yang gagal ketimbang mengulik sebab manusia takut sepi. Kita lebih terpikat pada aib orang daripada hakikat kebaikan.

Sherry Turkle dalam Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (2015) mencatat bahwa budaya kita tergerus oleh kecepatan dan permukaan. Dalam dunia yang semakin gaduh, warisan Sokrates menjadi relevan kembali: ajakan untuk mendaki tangga kata---dari menyebut nama, menuju menyelami makna.

Lidah, Telinga, dan Hati: Segitiga Etika Tutur

Sebelum kata lahir, ada jeda yang sering diabaikan: 'waktu mendengar.' Telinga mendahului lidah, sebagaimana benih mendahului bunga. Tapi dalam kebiasaan kita yang tergesa, sering kali lidah melompat lebih dulu---tanpa pendengaran, tanpa perenungan, tanpa hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun