Berbicara bukan sekadar melepaskan suara. Ia adalah 'gema dari batin' yang telah mengalami, merenungi, lalu memilih kata dengan takzim. Dalam pandangan Martin Buber, filsuf dialogis asal Austria, komunikasi sejati bukan sekadar pertukaran informasi, tapi perjumpaan antar-jiwa---"I and Thou," bukan "I and It" (1937). Bila demikian, maka berbicara adalah tindakan etis, bukan teknis.
Dalam ruang batin yang sehat, 'telinga menjadi gerbang pertama menuju hati.' Mendengar bukan hanya soal menangkap bunyi, melainkan kesiapan untuk menampung makna. Dalam tradisi sufistik, mendengar (sam) bahkan dianggap sebagai laku spiritual: cara untuk menyerap kebijaksanaan yang tak selalu lahir dari suara keras, tapi dari keheningan yang peka. Barulah setelah makna itu menyentuh hati, lidah diberi izin untuk berkata.
Sayangnya, banyak yang berbicara sebelum mendengar, atau berbicara tanpa pernah benar-benar memahami. Mereka bicara karena harus bicara, bukan karena ada kebenaran yang perlu dibagikan.
Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), menyebut hal ini sebagai bentuk komunikasi yang "tidak otentik"---sebuah ekspresi kosong yang tak membuka ruang bagi pemahaman, hanya pengulangan suara yang hampa.
Segitiga etika tutur (telinga, hati, lidah) mengingatkan kita bahwa 'kata yang benar lahir dari simpul-simpul kesadaran.' Ia telah melewati pendengaran yang saksama, perenungan yang jujur, dan keinginan untuk menyembuhkan, bukan melukai. Di situlah bicara menjadi seni, bukan sekadar alat.
Kita hidup di zaman ketika kabar lebih cepat beredar daripada kebenaran. Satu kata dari jari yang terburu bisa menjadi badai bagi hidup seseorang. Di media sosial, di lorong sekolah, di ruang tamu keluarga---gosip telah menjelma menjadi semacam hiburan kolektif, candu sosial yang menyusup dalam percakapan ringan. "Sudah dengar belum?" bukan lagi ajakan bertanya, tetapi sinyal untuk membagikan cerita yang belum tentu benar.
Dalam studinya tentang ujaran daring, Danah Boyd (It's Complicated: The Social Lives of Networked Teens, 2014) mencatat bahwa generasi digital tidak hanya berkomunikasi lebih sering, tetapi juga lebih cepat terjebak dalam budaya pengawasan sosial. Gosip menjadi alat untuk mengatur, menekan, bahkan menghukum: tanpa proses klarifikasi, tanpa ruang maaf.
Ujaran yang tak terkendali bukan hanya memercikkan luka kecil. Ia bisa menghancurkan kepercayaan, membunuh karakter, bahkan menumpulkan kepekaan moral. Fitnah menjalar seperti api di padang kering. Penghakiman dilakukan tanpa bukti, dengan keyakinan penuh seolah telah melihat segalanya. Yang tersisa hanya kebisingan: percakapan yang kosong makna, berisik tapi tak menyentuh kebenaran. Di sinilah 'banalitas menjadi norma,' dan berpikir terasa seperti beban.
Di balik semua ini, terselip 'kebutuhan untuk tahu' yang tidak lahir dari niat memahami, melainkan dari dorongan ingin menjadi bagian dari arus. Kita ingin tahu bukan untuk menolong, tapi agar tidak tertinggal dalam percakapan. Ini adalah bentuk krisis nalar: saat pengetahuan kehilangan akarnya, dan kita lebih memilih kabar ketimbang kebijaksanaan.
Neil Postman, dalam Amusing Ourselves to Death (1985), sudah memperingatkan bahwa dalam masyarakat yang terlampau mengandalkan media, informasi bisa menjadi distraksi, bukan pemahaman. Kita tahu banyak hal, tapi jarang memahami apa pun. Kita tenggelam dalam lautan informasi, tetapi kehausan akan makna tak kunjung terpuaskan.