Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Di Antara Telinga dan Hati: Seni Bicara dalam Bayang Sokrates

10 Juni 2025   04:25 Diperbarui: 11 Juni 2025   06:03 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seni berbicara (Sumber Ilustrasi: Freepik)

Maka, gosip bukan hanya soal etika, melainkan soal epistemologi: 'bagaimana kita tahu, dan mengapa kita ingin tahu.' Bila nalar tidak terlibat dalam setiap kata yang keluar, maka lidah menjadi alat kekerasan yang tak terasa---dan suara kita menjauh dari keadilan.

Menuju Seni Bicara: Belajar dari Sokrates

Dalam budaya yang mengagungkan kecepatan, Sokrates hadir sebagai pengingat bahwa berbicara adalah bentuk berpikir yang dilambatkan. Ia tidak menawarkan jawaban siap saji, melainkan mengajukan pertanyaan yang menggugat dasar-dasar nalar: Apa itu adil? Apa itu baik? Bagaimana kau tahu? Melalui metode dialektika atau elenchus, percakapan menjadi jalan menuju pemahaman, bukan sekadar arena adu pendapat.

Seperti tercatat dalam The Republic (Plato, ca. 380 SM, terj. Allan Bloom, 1968), Sokrates berdialog bukan untuk menang, tapi untuk menyadarkan. Ia menghormati keheningan sebagai bagian dari proses berpikir. Di situlah seni bicara menemukan bentuknya: dalam kesediaan menunda respons, memberi ruang bagi tanya, dan membiarkan kejujuran menuntun arah.

Keheningan, bagi Sokrates, bukan kekosongan, melainkan ladang tempat makna bertumbuh. Di zaman yang gaduh, jeda menjadi kemewahan yang dilupakan. Padahal, dari jeda yang hening lahir kata-kata yang jernih, yang tidak hanya menyentuh telinga tetapi juga menggugah hati.

Salah satu kisah terkenal tentang Sokrates adalah tentang "tiga saringan": sebelum berbicara, ujilah apakah itu benar, baik, dan berguna. Jika tidak lolos satu pun, maka lebih baik ditahan. Meski kisah ini tidak langsung muncul dalam dialog Plato, ia menjadi bagian penting dalam pendidikan moral dan berpikir kritis (Paul & Elder, The Miniature Guide to Critical Thinking, 2008).

Tiga saringan bukanlah alat pembungkam, melainkan penyaring batin---agar yang terucap tak sekadar reaksi, tapi buah dari perenungan. Kata yang disaring membawa cahaya, bukan bara; ia menumbuhkan pengertian, bukan memperkeruh keadaan.

Seni bicara, dalam bayang Sokrates, bukanlah kemampuan merangkai kata indah, melainkan ketulusan menjaga agar kata tetap jujur terhadap akal dan hati. Maka sebelum berbicara, barangkali kita perlu lebih dahulu belajar mendengar---bukan hanya suara orang lain, tapi gema nurani sendiri.

Akhirnya, di zaman ketika suara menjadi mata uang yang mudah dicetak dan percakapan kehilangan bobot makna, kita diajak kembali menjadikan berbicara sebagai praktik bernalar---bukan sekadar melampiaskan rasa, tetapi menimbang apa yang layak diucapkan. Sokrates telah menunjukkan bahwa kata-kata adalah jalan menuju jiwa, jalan yang menuntut jeda, keberanian untuk diam, dan kejujuran untuk bertanya.  Ketika filsafat dihadirkan kembali dalam kesadaran akan makna setiap kata, maka bicara tak lagi menjadi kebisingan, melainkan laku mencintai kejelasan. Dan pada akhirnya, berbicara karena cinta kebenaran adalah keberanian yang paling halus---sebab ia tidak mengguncang dunia dari luar, tapi menggugah kesadaran dari dalam. Di antara telinga dan hati, ada tangga menuju pemahaman---dan Sokrates berdiri di sana, menanti siapa yang mau mendaki. (*)

Merauke, 10 Juni 2025

Agustinus Gereda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun