Maka, gosip bukan hanya soal etika, melainkan soal epistemologi: 'bagaimana kita tahu, dan mengapa kita ingin tahu.' Bila nalar tidak terlibat dalam setiap kata yang keluar, maka lidah menjadi alat kekerasan yang tak terasa---dan suara kita menjauh dari keadilan.
Menuju Seni Bicara: Belajar dari Sokrates
Dalam budaya yang mengagungkan kecepatan, Sokrates hadir sebagai pengingat bahwa berbicara adalah bentuk berpikir yang dilambatkan. Ia tidak menawarkan jawaban siap saji, melainkan mengajukan pertanyaan yang menggugat dasar-dasar nalar: Apa itu adil? Apa itu baik? Bagaimana kau tahu? Melalui metode dialektika atau elenchus, percakapan menjadi jalan menuju pemahaman, bukan sekadar arena adu pendapat.
Seperti tercatat dalam The Republic (Plato, ca. 380 SM, terj. Allan Bloom, 1968), Sokrates berdialog bukan untuk menang, tapi untuk menyadarkan. Ia menghormati keheningan sebagai bagian dari proses berpikir. Di situlah seni bicara menemukan bentuknya: dalam kesediaan menunda respons, memberi ruang bagi tanya, dan membiarkan kejujuran menuntun arah.
Keheningan, bagi Sokrates, bukan kekosongan, melainkan ladang tempat makna bertumbuh. Di zaman yang gaduh, jeda menjadi kemewahan yang dilupakan. Padahal, dari jeda yang hening lahir kata-kata yang jernih, yang tidak hanya menyentuh telinga tetapi juga menggugah hati.
Salah satu kisah terkenal tentang Sokrates adalah tentang "tiga saringan": sebelum berbicara, ujilah apakah itu benar, baik, dan berguna. Jika tidak lolos satu pun, maka lebih baik ditahan. Meski kisah ini tidak langsung muncul dalam dialog Plato, ia menjadi bagian penting dalam pendidikan moral dan berpikir kritis (Paul & Elder, The Miniature Guide to Critical Thinking, 2008).
Tiga saringan bukanlah alat pembungkam, melainkan penyaring batin---agar yang terucap tak sekadar reaksi, tapi buah dari perenungan. Kata yang disaring membawa cahaya, bukan bara; ia menumbuhkan pengertian, bukan memperkeruh keadaan.
Seni bicara, dalam bayang Sokrates, bukanlah kemampuan merangkai kata indah, melainkan ketulusan menjaga agar kata tetap jujur terhadap akal dan hati. Maka sebelum berbicara, barangkali kita perlu lebih dahulu belajar mendengar---bukan hanya suara orang lain, tapi gema nurani sendiri.
Akhirnya, di zaman ketika suara menjadi mata uang yang mudah dicetak dan percakapan kehilangan bobot makna, kita diajak kembali menjadikan berbicara sebagai praktik bernalar---bukan sekadar melampiaskan rasa, tetapi menimbang apa yang layak diucapkan. Sokrates telah menunjukkan bahwa kata-kata adalah jalan menuju jiwa, jalan yang menuntut jeda, keberanian untuk diam, dan kejujuran untuk bertanya. Ketika filsafat dihadirkan kembali dalam kesadaran akan makna setiap kata, maka bicara tak lagi menjadi kebisingan, melainkan laku mencintai kejelasan. Dan pada akhirnya, berbicara karena cinta kebenaran adalah keberanian yang paling halus---sebab ia tidak mengguncang dunia dari luar, tapi menggugah kesadaran dari dalam. Di antara telinga dan hati, ada tangga menuju pemahaman---dan Sokrates berdiri di sana, menanti siapa yang mau mendaki. (*)
Merauke, 10 Juni 2025
Agustinus Gereda