Lebih buruk lagi, derasnya arus informasi membawa serta kabut disinformasi. Claire Wardle & Hossein Derakhshan, dalam Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework (2017), menyebutnya sebagai information disorder: saat fakta dan fiksi tercampur, dan orientasi kita pada kebenaran mulai goyah. Hoaks bukan sekadar kesalahan, tetapi strategi.
Anonimitas yang semula dirayakan sebagai pelindung kebebasan kini sering menjadi tameng kekerasan simbolik. Viralisme memperparah: satu komentar tanpa empati bisa melukai ribuan. Sherry Turkle, dalam Reclaiming Conversation (2015), menggambarkan bagaimana teknologi telah menjauhkan kita dari kehadiran emosional: kita berbicara tanpa benar-benar hadir.
Dalam iklim seperti ini, ekspresi tercerabut dari akar moralnya. Apa artinya kebebasan berekspresi jika ia tak lagi ditopang oleh empati dan pencarian kebenaran, melainkan hanya menjadi gema kosong yang memukul lalu menghilang?
Batas dan Tanggung Jawab
Tak semua kata melukai, namun di era digital, ekspresi bisa menjadi pisau tak kasat mata yang menoreh batin. Pertanyaan etis yang mengemuka: kapan ekspresi melampaui batas dan menjadi kekerasan simbolik?
Pierre Bourdieu, dalam Language and Symbolic Power (1991), menjelaskan kekerasan simbolik sebagai dominasi yang bekerja lewat bahasa, kategori, dan struktur sosial yang tak kentara. Dalam dunia digital, ini tampak saat ujaran rasis, misoginis, atau diskriminatif bersembunyi di balik klaim "opini pribadi" --- padahal memperpanjang luka kolektif.
Lalu siapa yang berhak menyaring kata? Negara, dengan hukum dan kekuasaannya? Platform digital yang dikuasai algoritma dan iklan? Atau masyarakat sendiri, yang sering terpecah oleh tribalitas dan echo chamber? Setiap aktor punya celah dan dilema masing-masing.
Negara bisa tergelincir menjadi penguasa yang membungkam. Platform, seperti Meta atau X, cenderung lebih setia pada klik daripada etika. Sementara komunitas digital, meskipun menjanjikan pengawasan kolektif, kerap gagal membangun standar moral bersama. Maka, regulasi tanpa kesadaran hanya melahirkan ketakutan, bukan keadilan.
Di sinilah pentingnya ethics of care --- seperti diajukan Carol Gilligan dalam In a Different Voice (1982). Etika ini menekankan relasi dan empati, bukan hanya aturan. Dalam ruang digital yang dingin dan cepat, kita diajak untuk berhenti sejenak, mendengar, dan merawat kata sebelum diucapkan.
Dalam suasana digital yang nyaris tanpa wajah, membatasi bukanlah selalu bentuk represi, melainkan bisa menjadi wujud kasih. Sebab di balik setiap komentar, ada manusia yang merasa. Dan bila ekspresi kehilangan kepekaan, ia kehilangan makna terdalamnya sebagai jembatan antar jiwa.
Pada akhirnya, di tengah derasnya arus kata di ruang digital, kita perlu kembali kepada logos: bukan sekadar sebagai warisan filsafat, melainkan cahaya yang menuntun ekspresi menuju tanggung jawab. Kebebasan berekspresi, betapa pun berharganya, akan hampa jika tercerabut dari empati dan etika. Maka yang kita butuhkan hari ini bukan hanya kebebasan yang dijaga oleh hukum, melainkan ruang yang dibangun oleh kepedulian: dunia digital yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijak; tidak hanya nyaring, tetapi juga berwelas asih. Tantangan kita adalah mencipta ruang di mana ekspresi tak menjadi alat kekerasan simbolik, melainkan jembatan antarjiwa. Sebab dalam setiap pilihan untuk berbicara---atau diam---tersimpan tanggung jawab moral yang tak dapat didelegasikan: kepada siapa pun, selain diri kita sendiri. (*)
