Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Antara Logos dan Noise: Menimbang Etika Ekspresi di Era Digital

26 April 2025   04:10 Diperbarui: 26 April 2025   17:51 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di era ketika kata-kata melaju lebih cepat dari angin, dunia digital telah menjadi ruang ekspresi yang tak mengenal hening---tempat segala suara melesat dari jari ke layar tanpa jeda. Namun justru dalam kebebasan itulah, batas antara logos dan noise kian kabur: logos yang mengandung akal budi, kebenaran, dan dialog kini sering tenggelam dalam kebisingan disinformasi, ujaran kebencian, dan kegaduhan simbolik. Esai ini mengajak kita menimbang ulang letak etika dalam kebebasan berekspresi: kapan kata menjadi jembatan, kapan menjadi pisau; dan siapa yang patut menjaga batas itu: negara, platform, atau nurani kolektif kita? Di tengah riuh yang tak kunjung reda, barangkali inilah saatnya kembali pada logos: bukan sekadar warisan filsafat, melainakn sebagai lentera moral dalam lanskap digital yang rentan kehilangan arah.

Eksplorasi Filsafat Ekspresi

Sejak zaman papirus dan forum Yunani, para filsuf telah menggugat kekuatan ekspresi. Kata bukan sekadar bunyi, tetapi pembawa makna---dan makna yang tercerabut dari kebenaran bisa menjadi alat manipulasi.

Plato, dalam Gorgias (terj. Robin Waterfield, 2008), memperingatkan bahaya retorika yang memikat namun kosong dari keadilan. Orator yang hanya mengejar tepuk tangan tanpa mencintai kebenaran, bagi Plato, hanyalah penyihir kata yang menyesatkan jiwa.

Aristoteles, dalam Rhetoric (terj. W. Rhys Roberts, 2007), menawarkan pandangan yang lebih bernuansa: retorika memiliki potensi etis jika berakar pada ethos: karakter dan integritas pembicara. Ekspresi yang baik bukan hanya soal logika, tapi soal jiwa yang jujur.

Memasuki abad modern, John Stuart Mill dalam On Liberty (1859) menegaskan bahwa kebebasan berekspresi adalah fondasi demokrasi. Bahkan gagasan yang menyakitkan pun layak diucapkan demi menguji kebenaran. Namun, kebebasan itu tetap harus berjalan berdampingan dengan tanggung jawab moral.

Dalam lanskap digital, Judith Butler melalui Excitable Speech: A Politics of the Performative (1997), menyoroti ujaran sebagai tindakan yang menciptakan realitas. Ujaran kebencian bukan hanya menyampaikan opini: ia bisa menyakiti, menindas, dan memperpanjang struktur kekuasaan yang timpang. Bahasa adalah tindakan, dan tindakan bisa melukai.

Sementara itu, Jurgen Habermas, dalam The Structural Transformation of the Public Sphere (1989), menekankan pentingnya ruang diskursus yang rasional dan terbuka. Jika ruang digital malah mengobarkan polarisasi dan membunuh dialog, maka ekspresi kehilangan tujuan etisnya. Pertanyaan pun tetap hidup dari zaman Plato hingga algoritma hari ini: bagaimana agar kata tetap setia pada kebenaran, dan bukan menjadi topeng kekuasaan?

Problematika di Era Digital

Dulu, diskursus tumbuh dari ruang yang mengenal wajah dan suara; tempat kata-kata lahir dari tanggung jawab dan permenungan. Kini, di balik avatar dan algoritma, ekspresi lebih sering jadi reaksi instan demi terlihat dan disukai, bukan buah dari pemikiran jernih.

Media sosial menjelma menjadi mesin polarisasi. Seperti dicatat Eli Pariser dalam The Filter Bubble (2011), algoritma menyaring dunia menjadi gema dari apa yang ingin kita dengar. Kebenaran tersingkir oleh apa yang cepat, menghibur, dan membelah. Di ruang ini, logos dikalahkan oleh logika klik.

Lebih buruk lagi, derasnya arus informasi membawa serta kabut disinformasi. Claire Wardle & Hossein Derakhshan, dalam Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework (2017), menyebutnya sebagai information disorder: saat fakta dan fiksi tercampur, dan orientasi kita pada kebenaran mulai goyah. Hoaks bukan sekadar kesalahan, tetapi strategi.

Anonimitas yang semula dirayakan sebagai pelindung kebebasan kini sering menjadi tameng kekerasan simbolik. Viralisme memperparah: satu komentar tanpa empati bisa melukai ribuan. Sherry Turkle, dalam Reclaiming Conversation (2015), menggambarkan bagaimana teknologi telah menjauhkan kita dari kehadiran emosional: kita berbicara tanpa benar-benar hadir.

Dalam iklim seperti ini, ekspresi tercerabut dari akar moralnya. Apa artinya kebebasan berekspresi jika ia tak lagi ditopang oleh empati dan pencarian kebenaran, melainkan hanya menjadi gema kosong yang memukul lalu menghilang?

Batas dan Tanggung Jawab

Tak semua kata melukai, namun di era digital, ekspresi bisa menjadi pisau tak kasat mata yang menoreh batin. Pertanyaan etis yang mengemuka: kapan ekspresi melampaui batas dan menjadi kekerasan simbolik?

Pierre Bourdieu, dalam Language and Symbolic Power (1991), menjelaskan kekerasan simbolik sebagai dominasi yang bekerja lewat bahasa, kategori, dan struktur sosial yang tak kentara. Dalam dunia digital, ini tampak saat ujaran rasis, misoginis, atau diskriminatif bersembunyi di balik klaim "opini pribadi" --- padahal memperpanjang luka kolektif.

Lalu siapa yang berhak menyaring kata? Negara, dengan hukum dan kekuasaannya? Platform digital yang dikuasai algoritma dan iklan? Atau masyarakat sendiri, yang sering terpecah oleh tribalitas dan echo chamber? Setiap aktor punya celah dan dilema masing-masing.

Negara bisa tergelincir menjadi penguasa yang membungkam. Platform, seperti Meta atau X, cenderung lebih setia pada klik daripada etika. Sementara komunitas digital, meskipun menjanjikan pengawasan kolektif, kerap gagal membangun standar moral bersama. Maka, regulasi tanpa kesadaran hanya melahirkan ketakutan, bukan keadilan.

Di sinilah pentingnya ethics of care --- seperti diajukan Carol Gilligan dalam In a Different Voice (1982). Etika ini menekankan relasi dan empati, bukan hanya aturan. Dalam ruang digital yang dingin dan cepat, kita diajak untuk berhenti sejenak, mendengar, dan merawat kata sebelum diucapkan.

Dalam suasana digital yang nyaris tanpa wajah, membatasi bukanlah selalu bentuk represi, melainkan bisa menjadi wujud kasih. Sebab di balik setiap komentar, ada manusia yang merasa. Dan bila ekspresi kehilangan kepekaan, ia kehilangan makna terdalamnya sebagai jembatan antar jiwa.

Pada akhirnya, di tengah derasnya arus kata di ruang digital, kita perlu kembali kepada logos: bukan sekadar sebagai warisan filsafat, melainkan cahaya yang menuntun ekspresi menuju tanggung jawab. Kebebasan berekspresi, betapa pun berharganya, akan hampa jika tercerabut dari empati dan etika. Maka yang kita butuhkan hari ini bukan hanya kebebasan yang dijaga oleh hukum, melainkan ruang yang dibangun oleh kepedulian: dunia digital yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijak; tidak hanya nyaring, tetapi juga berwelas asih. Tantangan kita adalah mencipta ruang di mana ekspresi tak menjadi alat kekerasan simbolik, melainkan jembatan antarjiwa. Sebab dalam setiap pilihan untuk berbicara---atau diam---tersimpan tanggung jawab moral yang tak dapat didelegasikan: kepada siapa pun, selain diri kita sendiri. (*)

Merauke, 26 April 2025

Agustinus Gereda

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun