"Gimana ya rasanya jalan-jalan dan makan-makan bareng keluarga seperti itu? Beramai-ramai. Lihat-lihat baju bareng. Makan ramai-ramai di mal," celetukku demi menyaksikan pengunjung mal hilir-mudik di selasar.
Tatkala itu aku dan Diba sedang duduk di sebuah depot makanan Jepang di sebuah mal. Di depan kami telah tersedia makanan dan minuman yang siap disantap begitu azan Magrib tiba. Hari itu kami memang sengaja buka puasa di mal. Sebagai selinganlah, ya. Biasanya kami 'kan bukber di masjid dekat rumah.
"Kita 'kan keluarga," sahut Diba dengan nada dingin.
"Eh?! Oiya, ya? Kita juga keluarga. Oalah lupa. Hahahaha!"
Seketika tawaku meledak. Aku pun makin terpingkal-pingkal manakala melihat ekspresi wajah Diba. Lempeng amat?!
"HAHAHAHA!"
"Sttt, sttt. Jangan berisik. Diliatin orang-orang," ujar Diba dengan sorot mata tajam.
"Hehehe. Iya, iya hihihi."Â
Menakjubkan. Bisa-bisanya dia sama sekali tak ikut tertawa bersamaku. Sedalam itukah rasa tersinggungnya? Gara-gara aku tadi lupa kalau kami punya ikatan keluarga? Duh, duh. Maafkan, maafkan. Bukan maksudku untuk tidak mengakuimu sebagai anak, Dib. Batinku.
"Gitu aja kok ketawanya enggak selesai-selesai. Berlebihan."Â